Minggu, 24 Oktober 2010

Gali lobang tutup lobang.

Hutang, nikmat untuk di lakukan, sakit ketika membayar. Mungkin kalimat ini seringkali kita dengarkan, ataupun kita juga sering melakukannya bukan? Apalagi dengan adanya tawaran-tawaran kartu kredit maupun kredit tanpa agunan dari bank dan badan finance. Mau apa-apa tinggal kredit, mau apa-apa tinggal gesek, kalo sudah waktunya membayar seringkali kita mengomel dan takjub melihat angka dari credit bill yang muncul. Well pola hidup seperti ini sudah berlangsung di Negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, dimana kelas menengah pada umumnya hidup dengan menggunakan kartu kredit, semuanya di kredit, mulai dari furniture, bahkan yang saya dengar dari klien saya yang pernah hidup di Washington selama beberapa tahun, bahkan pot bunga pun di beli dengan cara kredit. Pola hidup seperti ini, pada akhirnya akan berimbas pada over debt dengan tidak adanya kemampuan untuk melakukan pembayaran. Yang akhirnya si debitur akan bangkrut. Well ini yang bisa saya simpulkan dengan logika saja, jika salary atau gaji yang diterima tiap bulannya habis untuk membayar kredit, maka jika ada pengeluaran baru yang muncul, darimana kemampuan untuk melakukan pembayaran tersebut? Fenomena ini pernah muncul di acara oprah winfrey show.

Fenomena over debt ini sekarang mulai muncul di-Indonesia, bahkan saya mendapat beberapa klien yang mempunyai over debt kartu kredit dan kredit tanpa agunan hingga nominalnya bisa mencapai milyaran rupiah. Bagaimana ini bisa terjadi? “gali lobang tutup lobang” yang diperlukan hanyalah satu kartu kredit awal dan track record yang baik untuk satu tahun pertama. Jika anda mempunyai kartu kredit dengan track pembayaran yang baik, maka bank yang lain akan menawarkan kartu kredit dengan program-program unggulan mereka, yang kemudian disusulkan dengan kredit tanpa agunan dengan bunga rendah yang nilainya bisa mencapai Rp. 150.000.000 tanpa agunan sama sekali. Bayangkan ngilernya manusia mendapat uang tunai sebesar itu tanpa adanya jaminan yang diberikan. Hal ini kemudian menjadi kebiasaan memutar, jika pada saat jatuh tempo pembayaran dan anda tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pembayaran, maka apa yang bisa dilakukan? Gesek tunai dari satu kartu kredit untuk membayar tagihan lainnya di level pembayaran minimal, perputaran seperti ini akan menimbulkan denda dan bunga. Yang akan berjalan dan bertumpuk, yang pada akhirnya semua kredit yang ada akan mencapai limitnya dan macet.

Bagaimana aspek hukumnya jika debitur tidak bisa membayar kredit tanpa agunannya jika terjadi kemacetan seperti ini? Jawabannya tidak ada selain nama anda akan dilaporkan ke Bank Indonesia sebagai debitur dengan kredit jelek atau biasanya disebut black list, dimana dengan adanya black list seperti ini, anda tidak akan bisa mendapat kredit dari bank maupun badan finance manapun juga sampai adanya pemutihan dari Bank Indonesia. Berbeda dengan Amerika Serikat, dimana kreditur mempunyai hak untuk melakukan penarikan barang atau harta yang dipunyai untuk melunasi hutang dari debitur, yang disebut dengan repo dimana pada saat terjadi kemacetan dari debitur, maka repo akan mendatangi si berhutang dan manaksir nilai harta benda darinya untuk pelunasan hutangnya. Sedangkan di-Indonesia, kreditur tidak mempunyai hak ini sama sekali, maka itulah aspek perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang terhadap bank sebagai kreditur tanpa agunan tidak ada. Jika kemudian pihak kreditur akan mendatangi debitur dan melakukan penaksiran akan menarik harta kepunyaan debitur sebagai prestasi atas hutang debitur, maka hal ini bisa dikategorikan eksekusi liar dan tidak dibenarkan sama sekali di mata hukum.

Karena peristiwa hukum antara kreditur dan debitur kredit tanpa agunan ini sifatnya adalah perjanjian biasa yang memenuhi syarat seperti yang diatur didalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata pasal 1320 tentang syarat sah-nya perjanjian. Jika kemudian debitur tidak bisa melakukan pembayaran atas hutangnya, maka didalam hukum ini disebut dengan wanprestattie/wanprestasi atau keadaan ingkar janji dengan tidak melakukan apa yang telah disanggupinya. Namun tidak serta merta kemudian kreditur mendapat hak untuk melakukan penarikan ataupun sita atas harta benda debitur, karena proses pemaksaan yang dapat dilakukan oleh debitur atas hal ini adalah melalui satu Gugatan Wanprestasi yang harus dilakukan di domisili dari Debitur, dan harus dibuktikan melalui proses panjang peradilan pada umumnya, dimana didalam gugatan tersebut, debitur sebagai Penggugat akan meminta melalui pengadilan negeri untuk melakukan penyitaan terhadap harta benda dari debitur yang mengakibatkan status dari harta benda tersebut dibawah penjagaan dari Pengadilan Negeri setempat. Dimana harta ini akan bisa dieksekusi setelah adanya putusan hakim atas gugatan disertai dengan adanya penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri atas harta benda tersebut.
Dari serangkain proses panjang yang harus ditempuh oleh Kreditur untuk mendapatkan hak nya sebagai prestasi dari piutangnya, banyak kreditur yang kemudian mengambil jalan pintas dengan menggunakan debt collector maupun jasa preman untuk melakukan penagihan, dengan menggunakan jasa preman dan debt collector pun, terkadang menemui kendala, karena bisa dilaporkan ke pihak kepolisian. loh? terus bagaimana nasib kreditur yang sudah mengucurkan kredit? ya, masih banyak jalan menuju ke Roma, tokh hutang itu harus dibayar, masak mau sih manusia hidup dengan hutang yang menumpuk? Janganlah berhutang lebih dari kemampuan anda, kalau tokh bisa dibayar dengan tunai kenapa harus hutang.