Manusia, makhluk Tuhan yang superior, dilahirkan dengan sebuah kemampuan untuk berpikir dalam segala bentuk yang diinginkannya, dimana kemudian hal ini di telurkan menjadi berbagai karya dengan segala bentuk dan dimensi yang diinginkannya, bebas dan liar, tidak terikat dan terbelenggu oleh aturan manapun. Hasil karya dari seseorang pun dapat di-interpretasikan dalam berbagai keinginan dalam imajinasinya yang bebas. Itulah inti dari demokrasi berpikir, liar tanpa batasan. Hal ini kemudian memicu orang untuk menuliskan dan mengutarakan pemikirannya, dimana kemudian muncul tren untuk menuangkan segala pemikirannya melalui dunia maya dan telepon seluler, baik itu berupa blog, miny blog, maupun sms dan messenger. Hal ini sangat saya apresiasi sebagai sebuah kemajuan orang dalam berpikir, sebagai sebuah bentuk demokrasi berpikir (suatu hal yang sangat saya agung-agungkan). Namun dampak dari hal ini kemudian memicu berbagai kalangan menjadi filsuf dadakan yang mempunyai pola pemikiran yang seharusnya merupakan hal yang baik, namun menjadi sangat menjengkelkan ketika hal ini kemudian dikumandangkan dengan ekspresi “seolah-olah” dia benar dan superior, padahal tingkah laku dan kelakuannya tidak mencerminkan apa yang seharusnya dia lakukan sesuai dengan tulisan-tulisannya yang terkesan menasehati. Tulisan-tulisannya yang mengajarkan manusia untuk ingat akan sebuah ide yang bernama Tuhan digaungkan secara terus-menerus menjadi sebuah hal yang menjengkelkan ketika penulis itu sendiri tidak mencerminkan hal yang paling mendasar dari prinsip sebuah ke-Tuhanan, yaitu Hormat terhadap sesamamu, bahwa penulis itu sendiri tidak pernah mengerti akan sebuah ide “semua manusia itu dilahirkan sama dihadapan Tuhan”, bagaimana dia bisa menyuruh orang untuk ingat kepada Tuhan ketika ia sendiri sebenarnya tidak ingat akan Tuhan itu sendiri. Prinsip hipokrasi seperti ini berlangsung berulang ulang kali, karena apa yang dicarinya adalah sebuah pujian akan betapa bagusnya tulisan yang digaungkannya, sebuah keinginan agar orang berbuat baik dalam hidupnya dengan suatu cara superior – inferior, ketika dia masih memandang dengan sebelah mata orang-orang yang berbeda dengan dirinya, ketika dia masih memandang dengan dengusan napas yang panjang ketika orang itu tidak hidup dalam level yang sama dengan dirinya. Hal ini membuat tulisannya menjadi sangat menjijikkan karena apa yang dilakukannya adalah menampar orang lain dengan tangannya yang masih kotor. Ini mengingatkan saya terhadap percakapan oom Bob Sadino dengan seseorang yang bertanya padanya “oom bob, nanti milih masuk surga atau neraka? Oom bob menjawab “masuk neraka, kenapa begitu? jangan kau meminta untuk masuk surga kalau kau sendiri masih berlumuran dosa, apa tidak malu sama Tuhan?” bukankah itu yang seharusnya dilakukan? Apa saya berhak untuk mengatur seseorang untuk hidup baik dengan kesan keangkuhan yang dapat melukai perasaan orang lain? Kita bebas bermain dengan jalan pikiran kita, kita bebas mengutarakan apa yang kita inginkan, namun apa yang harus diingat mengenai prinsip kebebasan adalah, “kebebasanmu berakhir ketika hak dari orang lain muncul” hak untuk dihargai sebagai manusia yang utuh. Saya bebas melakukan apa yang saya inginkan, tapi dalam batasan apa yang saya lakukan itu tidak melukai Asasi dari manusia lain, saya tidak perlu ditampar oleh tangan kotor, karena didalam Alkitab-pun ada peristiwa dimana Yesus pernah mencegah masyarakat yang akan me-rajam seorang pelacur dengan menggambar sebuah garis didepan pelacur yang telah jatuh bersimpuh di tanah itu dan berkata “ia yang tak berdosa silahkan melempar batu yang pertama” apakah engkau akan melempar batu-mu? Ataukah engkau akan beranjak pergi seperti manusia-manusia munafik yang merasa dirinya superior.
Minggu, 07 November 2010
Langganan:
Postingan (Atom)