Narkoba, Narkotika dan obat terlarang, seringkali menjadi momok perusak bangsa dan generasi muda, yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Tapi apakah pernah kita melihat pengguna narkoba sebagai korban, korban sistem, korban sosial atas ketimpangan yang sama sekali tidak imparsial.
Negara sudah mengatur tentang hal ini dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun seringkali implikasi undang undang ini tidak berwujud pada sebuah keadaan sosial yang bisa menyehatkan bangsa ini, terutama kepada pecandu narkoba yang bisa saya lihat sebagai korban sosial yang seringkali mendapatkan cap “orang yang tersisihkan”, sebagai korban. Kenapa saya sebut sebagi korban? Korban dari lingkaran setan yang di ciptakan oleh pengedar, atas kesalahan (entah disengaja atau tidak) pemerintah dan aparaturnya yang diakibatkan sistem yang tidak berjalan dengan baik.
Pecandu narkotika seringkali tidak mendapatkan bantuan yang seharusnya untuk menjadikan mereka lebih baik, mulai dari sosialisasi mereka, keluarga sampai kepada hukum yang acapkali justru membuat pecandu narkoba menjadi lebih “sakit”. Pada kenyataannya, didalam undang undang nomor 35 tahun 2009 ttg narkotika, negara telah mengatur dengan gamblang mengenai penanganan yang seharusnya diberikan kepada pecandu narkotika, pasal 103, hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus untuk memerintahkan pecandu untuk menjalani rehabilitasi atau pengobatan yang dapat dihitung sebagai masa tahanan.
Namun, mengenai hal ini, hakim dengan wewenangnya tidak memutus perkara sebagaimana mestinya kepada pecandu narkotika dan menghukum yang bersangkutan untuk menjalani masa tahanan di lembaga permasyarakatan yang justru semakin memperparah kondisi kesakitan daripada pecandu tersebut. Pada kenyataannya, pecandu narkoba yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara malah menemukan surganya sendiri di area lembaga permasyarakatan kita, berapa kali kita melihat berita mengenai hal ini? Berapa kali terbongkar peredaran narkoba didalam lingkup lembaga permasyarakatan yang seharusnya memberikan efek jera? Tapi sekali lagi, ini Indonesia, negara hukum dengan sistem buruk yang bisa menimbulkan dualisme dalam kacamata keadilan.
Seringkali kita mendengar kata-kata perbuatan melawan hukum, atau biasanya didalam istilah hukum disebut dengan onrechtmatigedaad. Kali ini saya akan mengkaji hanya permukaan dari perbuatan melawan hukum dengan contoh kasus yang pernah saya tangani sendiri, relevansi dari kasus ini adalah mirip dengan awal mula munculnya perbuatan melawan hukum yang terjadi di negeri belanda, yang kemudian disadur oleh hukum kita melalui Kitab undang undang hukum perdata atau burgerlijk wetboek.
Perbuatan melawan hukum/onrecht matigedaad, sebagaimana diatur didalam Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang berbunyi "orang yang bersalah melakukan perbuatan melanggar hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah berwajib memberikan ganti kerugian"
Atas dasar hal ini kemudian Eko Wahyudi (-untuk selanjutnya disebut Penggugat) mengajukan Gugatan di Pengadilan Negeri Kota Malang atas Kerugian yg dideritanya atas terbakarnya bengkel milik dari Penggugat. Bahwasanya kebakaran bengkel milik Penggugat di dalilkan oleh Penggugat sebagai kesalahan yang berasal dari PT. PLN (-untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat) yang telah melakukan kesalahan Instalasi Pemasangan aliran listrik di bengkel milik Penggugat, dmn penggugat berdalil telah berkali-kali menegur Tergugat untuk segera memperbaiki instalasi aliran listrik di bengkelnya, namun tidak pernah dihiraukan oleh Tergugat, yang mengakibatkan kebakaran di bengkel Penggugat.
Sekilas dilihat dari kronologis diatas, mirip dengan perkara yg terjadi di Kota Zuphen-Belanda, dimana penghuni rumah susun di lantai bawah menggugat Penghuni di lantai atas yang tidak mau menutup keran air pada pipa bocor, sehingga penghuni rumah di bawah mengalami kebanjiran, yang merusak seluruh isi rumah para penghuni bawah tersebut, namun Gugatan Penghuni Rumah bawah ini ditolak, dgn alasan tidak adanya undang2 yang mengharuskan Penghuni untuk menutup keran air. Namun kemudian Jurisprudensi ini dibatalkan oleh putusan Hoge Raad pada tahun 1919 yang menyebutkan bahwa Perbuatan Melanggar/Melawan Hukum haruslah dianalogikan sedemikian rupa jika salah seorang mengalami kerugian atas kesalahan seseorang seperti yang diatur didalam pasal 1401 B.W Belanda yang kemudian disadur dalam B.W Indonesia kedalam pasal 1365 KUHPerdata.
Jika membandingkan antara Jurisprudensi hoge raad pada tahun 1919 dengan perkara antara Penggugat dan Tergugat secara sekilas, Jelas Tergugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian sehingga adalah suatu kewajiban bagi Tergugat untuk mengganti seluruh kerugian yg diderita oleh Penggugat.
Bahwa benar Tergugat haruslah mengganti kerugian yang diderita oleh Penggugat, namun apakah benar peristiwa kebakaran merupakan kesalahan instalasi listrik yang merupakan tanggung jawab Tergugat?
Seperti yang diharuskan dalam Hukum Acara Perdata, bahwa apa yang didalilkan oleh Penggugat harus dapat dibuktikan didalam persidangan, dan Tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya. Ternyata, fakta hukum yg timbul didalam persidangan adalah:
Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya;
Tergugat dapat membuktikan bahwa kebakaran yg terjadi di bengkel milik Penggugat merupakan kesalahan Penggugat sendiri;
Asal Api adalah dari dalam bengkel Penggugat, bukan dari Instalasi Listrik diluar, dan hal ini tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh Penggugat;
Saksi ahli kelistrikan menguatkan dalil bantahan Tergugat yang pada dasarnya merupakan pengetahuan umum, yang menurut hakim tidak perlu dibuktikan.
Dengan demikian, perbuatan melawan hukum / Onrecht matigedaad seperti yang didalilkan oleh Penggugat tidak dapat dibuktikan, sehingga Gugatan Penggugat Ditolak.
Ditolaknya Gugatan Penggugat tidak menimbulkan suatu euphoria bagi Tergugat, karena telah tersirat adanya suatu justifikasi terhadap kesalahan yang ditimpakan kepada Tergugat, bahwa gugatan yang diajukan hanya berdasarkan pendapat dan kliping koran yang tidak dapat dijadikan alat bukti, padahal untuk membuktikan asalnya api dalam suatu peristiwa kebakaran, haruslah ada suatu hasil pemeriksaan laboratorium forensik atas residu kebakaran yang dilakukan oleh Penyidik yang biasanya bekerjasama dengan pihak ahli kelistrikan dalam hal ini PT. PLN dan Insinyur Kelistrikan. Namun tindakan Penggugat yang telah mengajukan Gugatan, bukanlah merupakan suatu kesalahan ataupun sebuah politisasi untuk menjatuhkan Tergugat, adalah hak dari setiap warga negara yang cakap dalam hukum untuk mengajukan Gugatan didepan pengadilan, jika ia merasa telah dirugikan atas perbuatan yang disebabkan oleh orang lain. Tugas dari majelis hakimlah yang menentukan apakah gugatan tersebut dapat dibuktikan ataukah sebaliknya. Tentu saja hal ini demi memenuhi rasa keadilan bagi justitia bellen yang dalam hal ini masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban dalam porsinya masing-masing dan sama didepan hukum.