Jumat, 07 Agustus 2009

Hilangnya kedigdayaan Pengadilan

Dulu ketika saya masih sebagai seorang mahasiswa Hukum, adalah sebuah keharusan untuk berkunjung ke Pengadilan baik itu Negeri, Tinggi, Agama maupun Tata Usaha Negara. Diharapkan dengan kunjungan para mahasiswa ke perangkat hukum Negara ini, kita jauh mengetahui lebih banyak tentang praktek beracara, baik itu pidana, perdata maupun agama dan tatausaha Negara. Ketika kita masyarakat yang belum menjadi praktisi hukum mendengar tentang kata “pengadilan” dalam hati ada sebuah perasaan segan dan kagum. Bahkan ada juga yang takut hanya dengan mendengar kata Pengadilan. Ini sudah menjadi sebuah Doktrin yang berkembang didalam masyarakat. Bahwa pengadilan itu menakutkan. Ada yang berpendapat, “jangan sampai deh saya itu masuk ke pengadilan, ntar malah diperiksa dan diapa-apain sama perangkat pengadilan disana”.  Pada awalnya saya hanya tersenyum kecut ketika mendengar pernyataan ini. Bukan karena saya tergelitik dan menganggap remeh orang itu, namun saya prihatin. Tidak seharusnyalah masyarakat takut akan pengadilan. Bukankah pengadilan itu hadir untuk melayani masyarakat. Ketika masyarakat merasa hak-hak mereka sebagai warga Negara dilanggar, maka pengadilan adalah sebagai jalan terakhir yang harus ditempuh ketika semua jalan lain sudah tidak mumpuni lagi. Seharusnya masyarakat memandang Pengadilan itu dengan perasaan kagum dan segan. Karena disinilah gedung dimana masyarakat akan disodorkan sebuah pertunjukkan cerdas, dimana para praktisi hukum berkumpul dan beradu argumentasi intelektual sehingga menimbulkan suatu demokratisasi. Dan disinilah masyarakat bisa melihat ketika hak-hak mereka diperjuangkan oleh para praktisi hukum ketika mereka sudah tidak mempunyai jalan lagi ketika hak mereka dilanggar.

            Oleh karena itu, ketika saya menginjak semester V dan sebagai mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Praktek Peradilan Pidana, dimana diharuskan melakukan kunjungan ke pengadilan negeri. Saya merasa senang. Wah akhirnya saya bisa melihat kemegahan gedung pengadilan lengkap dengan perangkatnya. Akhirnya saya bisa melihat bagaimanakah teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan itu diimplimentasikan kedalam kehidupan peradilan. Saya bangga menjadi mahasiswa Hukum. Karena disinilah titik dimana saya akan memandang hukum dari mata yang sebenarnya. Bukan hanya buku-buku tebal para filsuf hukum yang menerbitkan pemikiran-pemikiran hebat. Tapi dari sinilah saya, kalau beruntung bisa melihat yurisprudensi dalam pembuatannya. Ketika tiba saatnya untuk melakukan kunjungan, kami para mahasiswa berkumpul dikampus dan diberangkatkan dengan bis. Saya melamun dan berkhayal tentang diri saya dibalut dengan jubah kebesaran pengacara lengkap dengan dasi putih yang bergantung. Sambil membawa buku-buku hukum melangkah masuk kedalam gedung, betapa bangganya saya didalam khayalan tersebut, betapa senangnya saya mengetahui bahwa hal itu akan segera terjadi dalam 2 tahun mendatang. Maka dari itu ketika bis berhenti tepat didepan pintu gerbang pengadilan, saya tersenyum.

Senyuman saya tidak bertahan lama, ketika saya masuk kedalam ruang lingkup pengadilan. Tepatnya dihalaman parkir. Terdapat suara-suara yang menyerukan kalimat-kalimat membingungkan “mas mau ngambil tilangan ya? Biar saya yang ambilkan mas, murah kok”. “Bapak sudah punya pengacara? Biar saya yang mengurus kasusnya”. Ternyata dihalaman parkir ramai terdapat berbagai macam orang yang tidak rapi sama sekali. Halaman parkir dipengadilan terkesan kotor, sampah dan puntung rokok dimana-mana. Lebih anehnya lagi banyak sekali calo-calo yang menawarkan jasa untuk menebus surat tilang seperti yang diatas. Belum lagi pengacara-pengacara yang menawarkan jasanya tepat disitu, menjadi satu dengan para calo. Seketika itu juga, semua eksistensi tentang pengadilan yang berwibawa terhapus dari dalam pikiran saya. Pengadilan Negeri berubah menjadi pasar tradisional, dimana terdapat penjual-penjual yang menawarkan jasa mereka secara serampangan terhadap siapapun yang melangkah di area tersebut. Memalukan memang, sebuah gedung yang seharusnya menjadi nadi dari kehidupan keadilan di Indonesia berubah menjadi area perdagangan.  Kemudian saya berpikir, ya sudahlah, biarkan saja. Mungkin ini memang sudah menjadi bagian dari kehidupan halaman parkir pengadilan. Tidak ada salahnya mereka menawarkan jasa kepada masyarakat untuk menebus surat tilang, tokh masyarakatnya sendiri malas untuk melalui segala birokasi untuk menebus surat tilang mereka. Padahal birokrasi yang harus dilewati untuk menebus suatu surat tilang sangatlah tidak sulit. Kita hanya perlu datang ke ruang sidang. Menunjukkan surat tilang, kemudian membayar denda, selesai. STNK maupun SIM sudah bisa diambil. Proses ini tidak memakan waktu lama, maksimal setengah jam. Atau biarlah pengacara-pengacara tersebut menawarkan jasa mereka dihalaman parkir Pengadilan, tokh mereka tidak sampai menjadi calo tilang. Pemikiran seperti ini bisa sedikit menghibur kekecewaan saya.

Kebetulan agenda sidang yang akan kita observasi hari itu adalah sidang TIPIRING ( Tindak Pidana Ringan). Yang menjadi objek dari sidang itu adalah para Pekerja Seks Komersil dan para transeksual yang menjual diri mereka yang kebetluan tertangkap dalam sebuah operasi. Ketika seorang transeksual ditanya oleh hakim “sehari kamu bisa melayani berapa orang?”  ia menjawab “ya kalau sedang ramai sih saya bisa sampai 5 atau 6 orang”. “melayani segitu banyak orang opo cangkemmu gak lower? (apa mulutmu tidak rusak)” hakim menjawab dengan bahasa jawa ngoko. Bahasa jawa ngoko adalah bahasa jawa kasar yang hanya dipergunakan dalam keseharian ketika kita berbicara antar teman. Kontan hadirin sidang menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Mereka menganggap hakim ini lucu dan punya selera humor yang tinggi. namun sesuatu yang lucu itu telah merendahkan harkat dan martabat dari seorang terdakwa. Biarpun ia hanyalah seorang transeksual yang menjajakan dirinya. Ia tetap adalah seorang warga Negara yang berhak mendapatkan perlakuan setara dengan warga Negara lain. Bukan dengan cara dihina didepan umum. Sebagai seorang hakim, seharusnya ia mengerti bahwa ia sudah melakukan tindakan penghinaan yang dapat mencemari nama baik seseorang, meskipun ia hanya seorang transeksual. Dan kembali kewibawaan dari pengadilan dihancurkan oleh tindakan yang memalukan yang kali ini dilakukan sendiri oleh seorang petinggi pengadilan itu sendiri, seorang hakim. Pemikiran dimana pengadilan adalah tempat para intelektual berkumpul dan melakukan adu argumentasi yang melahirkan demokrasi pun sontak luluh lantak dalam kejapan mata. Pengadilan menjadi sebuah tempat sirkus, dimana masyarakat bisa mendapat sebuah pertunjukkan yang menghibur dan terkesan lucu atas komentar-komentar yang sama sekali tidak intelek dari para hakim. Bagaimana masyarakat bisa menghormati aparatur Negara, kalau justru perangkatnya  tidak pernah menghargai rumah mereka sendiri.

1 komentar:

  1. bro itu baru bagian kecil banget dari pengadilan itu kan?
    you mungkin sekarang dah lebih liat lagi yang lebih nggilani dari pengadilan itu sendiri
    Pasti you pernah dengar
    " Anda PAHAM, Kami MENGERTI"

    BalasHapus