Kamis, 28 Februari 2013
sunyi
Kamis, 17 November 2011
good books
Mr. Catelope
Sabtu, 08 Januari 2011
aktifis
menjadi seorang aktifis bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan asik.. sebuah perjuangan yang harus diapresiasikan ke masyarakat kadang-kadang mandapat tanggapan negatif, bahwa segala sesuatu itu bisa dibeli. hal ini sungguh-sungguh membuat saya bersedih, bahwa perjuangan yang kita lakuin ke masyarakat itu tidak mendapatkan respon yang positif. namun semuanya harus tetap dijalankan, tokh ketika perjuangan itu membuahkan sebuah hasil yang menggembirakan masyarakat juga yang akan merasakan efeknya. kita hanyalah nama yang akan dilupakan dalam waktu 2 atau 3 minggu. bahkan kadang-kadang masyarakat yang diperjuangkan tidak tahu diri. ketika kita sudah berjuang habis-habisan menentang sebuah kebijakan pemerintah yang memang tidak pro rakyat, ketika kita sudah disodori dengan berbagai ancaman kekerasan dari pihak-pihak yang notebene adalah kaki tangan yang sengaja di majukan untuk memuluskan kebijakan-kebijakan ini, justru masyarakat yang sedang diperjuangkan menyangsikan keseriusan dari pihak LSM dan Aktifis juga lawyer-lawyer yang berdiri dibelakang mereka. Padahal perjuangan yang diberikan tidak main-main dan tanpa pamrih. tidak sepeser uang pun yang diminta sebagai kompensasi. Gejala sosial apa yang sedang terjadi ini? masyarakat yang seharusnya memberikan support malah menarik diri dan menuding-nuding. etika profesional tidak dipakai. namun itulah masyarakat, sampai kapanpun dan betapa apapun perlakuan masyarakat ke kami, kami tetap akan memperjuangkan hak-hak mereka ketika pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan yang tidak menguntngkan rakyatnya sendiri dan merusak lingkungan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan..
Perjuangan tidak akan pernah berakhir sampai mulut tidak mengeluarkan suara, tangan tidak bisa menulis dan mata tidak bisa melihat. karena selama pemerintah masih tetap berkutat pada doktrin-doktrin lama, pejuang-pejuang baru akan tetap lahir dan bersemi di bumi indonesia ini!!!..
Selasa, 28 Desember 2010
NARKOBA
Narkoba, Narkotika dan obat terlarang, seringkali menjadi momok perusak bangsa dan generasi muda, yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Tapi apakah pernah kita melihat pengguna narkoba sebagai korban, korban sistem, korban sosial atas ketimpangan yang sama sekali tidak imparsial.
Negara sudah mengatur tentang hal ini dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun seringkali implikasi undang undang ini tidak berwujud pada sebuah keadaan sosial yang bisa menyehatkan bangsa ini, terutama kepada pecandu narkoba yang bisa saya lihat sebagai korban sosial yang seringkali mendapatkan cap “orang yang tersisihkan”, sebagai korban. Kenapa saya sebut sebagi korban? Korban dari lingkaran setan yang di ciptakan oleh pengedar, atas kesalahan (entah disengaja atau tidak) pemerintah dan aparaturnya yang diakibatkan sistem yang tidak berjalan dengan baik.
Pecandu narkotika seringkali tidak mendapatkan bantuan yang seharusnya untuk menjadikan mereka lebih baik, mulai dari sosialisasi mereka, keluarga sampai kepada hukum yang acapkali justru membuat pecandu narkoba menjadi lebih “sakit”. Pada kenyataannya, didalam undang undang nomor 35 tahun 2009 ttg narkotika, negara telah mengatur dengan gamblang mengenai penanganan yang seharusnya diberikan kepada pecandu narkotika, pasal 103, hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus untuk memerintahkan pecandu untuk menjalani rehabilitasi atau pengobatan yang dapat dihitung sebagai masa tahanan.
Namun, mengenai hal ini, hakim dengan wewenangnya tidak memutus perkara sebagaimana mestinya kepada pecandu narkotika dan menghukum yang bersangkutan untuk menjalani masa tahanan di lembaga permasyarakatan yang justru semakin memperparah kondisi kesakitan daripada pecandu tersebut. Pada kenyataannya, pecandu narkoba yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara malah menemukan surganya sendiri di area lembaga permasyarakatan kita, berapa kali kita melihat berita mengenai hal ini? Berapa kali terbongkar peredaran narkoba didalam lingkup lembaga permasyarakatan yang seharusnya memberikan efek jera? Tapi sekali lagi, ini Indonesia, negara hukum dengan sistem buruk yang bisa menimbulkan dualisme dalam kacamata keadilan.
Sabtu, 04 Desember 2010
perbuatan melawan hukum
Perbuatan melawan hukum/onrecht matigedaad, sebagaimana diatur didalam Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang berbunyi "orang yang bersalah melakukan perbuatan melanggar hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah berwajib memberikan ganti kerugian"
Atas dasar hal ini kemudian Eko Wahyudi (-untuk selanjutnya disebut Penggugat) mengajukan Gugatan di Pengadilan Negeri Kota Malang atas Kerugian yg dideritanya atas terbakarnya bengkel milik dari Penggugat. Bahwasanya kebakaran bengkel milik Penggugat di dalilkan oleh Penggugat sebagai kesalahan yang berasal dari PT. PLN (-untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat) yang telah melakukan kesalahan Instalasi Pemasangan aliran listrik di bengkel milik Penggugat, dmn penggugat berdalil telah berkali-kali menegur Tergugat untuk segera memperbaiki instalasi aliran listrik di bengkelnya, namun tidak pernah dihiraukan oleh Tergugat, yang mengakibatkan kebakaran di bengkel Penggugat.
Sekilas dilihat dari kronologis diatas, mirip dengan perkara yg terjadi di Kota Zuphen-Belanda, dimana penghuni rumah susun di lantai bawah menggugat Penghuni di lantai atas yang tidak mau menutup keran air pada pipa bocor, sehingga penghuni rumah di bawah mengalami kebanjiran, yang merusak seluruh isi rumah para penghuni bawah tersebut, namun Gugatan Penghuni Rumah bawah ini ditolak, dgn alasan tidak adanya undang2 yang mengharuskan Penghuni untuk menutup keran air. Namun kemudian Jurisprudensi ini dibatalkan oleh putusan Hoge Raad pada tahun 1919 yang menyebutkan bahwa Perbuatan Melanggar/Melawan Hukum haruslah dianalogikan sedemikian rupa jika salah seorang mengalami kerugian atas kesalahan seseorang seperti yang diatur didalam pasal 1401 B.W Belanda yang kemudian disadur dalam B.W Indonesia kedalam pasal 1365 KUHPerdata.
Jika membandingkan antara Jurisprudensi hoge raad pada tahun 1919 dengan perkara antara Penggugat dan Tergugat secara sekilas, Jelas Tergugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian sehingga adalah suatu kewajiban bagi Tergugat untuk mengganti seluruh kerugian yg diderita oleh Penggugat.
Bahwa benar Tergugat haruslah mengganti kerugian yang diderita oleh Penggugat, namun apakah benar peristiwa kebakaran merupakan kesalahan instalasi listrik yang merupakan tanggung jawab Tergugat?
Seperti yang diharuskan dalam Hukum Acara Perdata, bahwa apa yang didalilkan oleh Penggugat harus dapat dibuktikan didalam persidangan, dan Tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya. Ternyata, fakta hukum yg timbul didalam persidangan adalah:
- Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya;
- Tergugat dapat membuktikan bahwa kebakaran yg terjadi di bengkel milik Penggugat merupakan kesalahan Penggugat sendiri;
- Asal Api adalah dari dalam bengkel Penggugat, bukan dari Instalasi Listrik diluar, dan hal ini tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh Penggugat;
- Saksi ahli kelistrikan menguatkan dalil bantahan Tergugat yang pada dasarnya merupakan pengetahuan umum, yang menurut hakim tidak perlu dibuktikan.
Dengan demikian, perbuatan melawan hukum / Onrecht matigedaad seperti yang didalilkan oleh Penggugat tidak dapat dibuktikan, sehingga Gugatan Penggugat Ditolak.
Ditolaknya Gugatan Penggugat tidak menimbulkan suatu euphoria bagi Tergugat, karena telah tersirat adanya suatu justifikasi terhadap kesalahan yang ditimpakan kepada Tergugat, bahwa gugatan yang diajukan hanya berdasarkan pendapat dan kliping koran yang tidak dapat dijadikan alat bukti, padahal untuk membuktikan asalnya api dalam suatu peristiwa kebakaran, haruslah ada suatu hasil pemeriksaan laboratorium forensik atas residu kebakaran yang dilakukan oleh Penyidik yang biasanya bekerjasama dengan pihak ahli kelistrikan dalam hal ini PT. PLN dan Insinyur Kelistrikan. Namun tindakan Penggugat yang telah mengajukan Gugatan, bukanlah merupakan suatu kesalahan ataupun sebuah politisasi untuk menjatuhkan Tergugat, adalah hak dari setiap warga negara yang cakap dalam hukum untuk mengajukan Gugatan didepan pengadilan, jika ia merasa telah dirugikan atas perbuatan yang disebabkan oleh orang lain. Tugas dari majelis hakimlah yang menentukan apakah gugatan tersebut dapat dibuktikan ataukah sebaliknya. Tentu saja hal ini demi memenuhi rasa keadilan bagi justitia bellen yang dalam hal ini masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban dalam porsinya masing-masing dan sama didepan hukum.
Minggu, 07 November 2010
HIPOKRASI
Manusia, makhluk Tuhan yang superior, dilahirkan dengan sebuah kemampuan untuk berpikir dalam segala bentuk yang diinginkannya, dimana kemudian hal ini di telurkan menjadi berbagai karya dengan segala bentuk dan dimensi yang diinginkannya, bebas dan liar, tidak terikat dan terbelenggu oleh aturan manapun. Hasil karya dari seseorang pun dapat di-interpretasikan dalam berbagai keinginan dalam imajinasinya yang bebas. Itulah inti dari demokrasi berpikir, liar tanpa batasan. Hal ini kemudian memicu orang untuk menuliskan dan mengutarakan pemikirannya, dimana kemudian muncul tren untuk menuangkan segala pemikirannya melalui dunia maya dan telepon seluler, baik itu berupa blog, miny blog, maupun sms dan messenger. Hal ini sangat saya apresiasi sebagai sebuah kemajuan orang dalam berpikir, sebagai sebuah bentuk demokrasi berpikir (suatu hal yang sangat saya agung-agungkan). Namun dampak dari hal ini kemudian memicu berbagai kalangan menjadi filsuf dadakan yang mempunyai pola pemikiran yang seharusnya merupakan hal yang baik, namun menjadi sangat menjengkelkan ketika hal ini kemudian dikumandangkan dengan ekspresi “seolah-olah” dia benar dan superior, padahal tingkah laku dan kelakuannya tidak mencerminkan apa yang seharusnya dia lakukan sesuai dengan tulisan-tulisannya yang terkesan menasehati. Tulisan-tulisannya yang mengajarkan manusia untuk ingat akan sebuah ide yang bernama Tuhan digaungkan secara terus-menerus menjadi sebuah hal yang menjengkelkan ketika penulis itu sendiri tidak mencerminkan hal yang paling mendasar dari prinsip sebuah ke-Tuhanan, yaitu Hormat terhadap sesamamu, bahwa penulis itu sendiri tidak pernah mengerti akan sebuah ide “semua manusia itu dilahirkan sama dihadapan Tuhan”, bagaimana dia bisa menyuruh orang untuk ingat kepada Tuhan ketika ia sendiri sebenarnya tidak ingat akan Tuhan itu sendiri. Prinsip hipokrasi seperti ini berlangsung berulang ulang kali, karena apa yang dicarinya adalah sebuah pujian akan betapa bagusnya tulisan yang digaungkannya, sebuah keinginan agar orang berbuat baik dalam hidupnya dengan suatu cara superior – inferior, ketika dia masih memandang dengan sebelah mata orang-orang yang berbeda dengan dirinya, ketika dia masih memandang dengan dengusan napas yang panjang ketika orang itu tidak hidup dalam level yang sama dengan dirinya. Hal ini membuat tulisannya menjadi sangat menjijikkan karena apa yang dilakukannya adalah menampar orang lain dengan tangannya yang masih kotor. Ini mengingatkan saya terhadap percakapan oom Bob Sadino dengan seseorang yang bertanya padanya “oom bob, nanti milih masuk surga atau neraka? Oom bob menjawab “masuk neraka, kenapa begitu? jangan kau meminta untuk masuk surga kalau kau sendiri masih berlumuran dosa, apa tidak malu sama Tuhan?” bukankah itu yang seharusnya dilakukan? Apa saya berhak untuk mengatur seseorang untuk hidup baik dengan kesan keangkuhan yang dapat melukai perasaan orang lain? Kita bebas bermain dengan jalan pikiran kita, kita bebas mengutarakan apa yang kita inginkan, namun apa yang harus diingat mengenai prinsip kebebasan adalah, “kebebasanmu berakhir ketika hak dari orang lain muncul” hak untuk dihargai sebagai manusia yang utuh. Saya bebas melakukan apa yang saya inginkan, tapi dalam batasan apa yang saya lakukan itu tidak melukai Asasi dari manusia lain, saya tidak perlu ditampar oleh tangan kotor, karena didalam Alkitab-pun ada peristiwa dimana Yesus pernah mencegah masyarakat yang akan me-rajam seorang pelacur dengan menggambar sebuah garis didepan pelacur yang telah jatuh bersimpuh di tanah itu dan berkata “ia yang tak berdosa silahkan melempar batu yang pertama” apakah engkau akan melempar batu-mu? Ataukah engkau akan beranjak pergi seperti manusia-manusia munafik yang merasa dirinya superior.