Selasa, 28 Desember 2010

NARKOBA


Narkoba, Narkotika dan obat terlarang, seringkali menjadi momok perusak bangsa dan generasi muda, yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Tapi apakah pernah kita melihat pengguna narkoba sebagai korban, korban sistem, korban sosial atas ketimpangan yang sama sekali tidak imparsial.

Negara sudah mengatur tentang hal ini dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun seringkali implikasi undang undang ini tidak berwujud pada sebuah keadaan sosial yang bisa menyehatkan bangsa ini, terutama kepada pecandu narkoba yang bisa saya lihat sebagai korban sosial yang seringkali mendapatkan cap “orang yang tersisihkan”, sebagai korban. Kenapa saya sebut sebagi korban? Korban dari lingkaran setan yang di ciptakan oleh pengedar, atas kesalahan (entah disengaja atau tidak) pemerintah dan aparaturnya yang diakibatkan sistem yang tidak berjalan dengan baik.

Pecandu narkotika seringkali tidak mendapatkan bantuan yang seharusnya untuk menjadikan mereka lebih baik, mulai dari sosialisasi mereka, keluarga sampai kepada hukum yang acapkali justru membuat pecandu narkoba menjadi lebih “sakit”. Pada kenyataannya, didalam undang undang nomor 35 tahun 2009 ttg narkotika, negara telah mengatur dengan gamblang mengenai penanganan yang seharusnya diberikan kepada pecandu narkotika, pasal 103, hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus untuk memerintahkan pecandu untuk menjalani rehabilitasi atau pengobatan yang dapat dihitung sebagai masa tahanan.

Namun, mengenai hal ini, hakim dengan wewenangnya tidak memutus perkara sebagaimana mestinya kepada pecandu narkotika dan menghukum yang bersangkutan untuk menjalani masa tahanan di lembaga permasyarakatan yang justru semakin memperparah kondisi kesakitan daripada pecandu tersebut. Pada kenyataannya, pecandu narkoba yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara malah menemukan surganya sendiri di area lembaga permasyarakatan kita, berapa kali kita melihat berita mengenai hal ini? Berapa kali terbongkar peredaran narkoba didalam lingkup lembaga permasyarakatan yang seharusnya memberikan efek jera? Tapi sekali lagi, ini Indonesia, negara hukum dengan sistem buruk yang bisa menimbulkan dualisme dalam kacamata keadilan.

Sabtu, 04 Desember 2010

perbuatan melawan hukum

Seringkali kita mendengar kata-kata perbuatan melawan hukum, atau biasanya didalam istilah hukum disebut dengan onrechtmatigedaad. Kali ini saya akan mengkaji hanya permukaan dari perbuatan melawan hukum dengan contoh kasus yang pernah saya tangani sendiri, relevansi dari kasus ini adalah mirip dengan awal mula munculnya perbuatan melawan hukum yang terjadi di negeri belanda, yang kemudian disadur oleh hukum kita melalui Kitab undang undang hukum perdata atau burgerlijk wetboek.


Perbuatan melawan hukum/onrecht matigedaad, sebagaimana diatur didalam Pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang berbunyi "orang yang bersalah melakukan perbuatan melanggar hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah berwajib memberikan ganti kerugian"


Atas dasar hal ini kemudian Eko Wahyudi (-untuk selanjutnya disebut Penggugat) mengajukan Gugatan di Pengadilan Negeri Kota Malang atas Kerugian yg dideritanya atas terbakarnya bengkel milik dari Penggugat. Bahwasanya kebakaran bengkel milik Penggugat di dalilkan oleh Penggugat sebagai kesalahan yang berasal dari PT. PLN (-untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat) yang telah melakukan kesalahan Instalasi Pemasangan aliran listrik di bengkel milik Penggugat, dmn penggugat berdalil telah berkali-kali menegur Tergugat untuk segera memperbaiki instalasi aliran listrik di bengkelnya, namun tidak pernah dihiraukan oleh Tergugat, yang mengakibatkan kebakaran di bengkel Penggugat.

Sekilas dilihat dari kronologis diatas, mirip dengan perkara yg terjadi di Kota Zuphen-Belanda, dimana penghuni rumah susun di lantai bawah menggugat Penghuni di lantai atas yang tidak mau menutup keran air pada pipa bocor, sehingga penghuni rumah di bawah mengalami kebanjiran, yang merusak seluruh isi rumah para penghuni bawah tersebut, namun Gugatan Penghuni Rumah bawah ini ditolak, dgn alasan tidak adanya undang2 yang mengharuskan Penghuni untuk menutup keran air. Namun kemudian Jurisprudensi ini dibatalkan oleh putusan Hoge Raad pada tahun 1919 yang menyebutkan bahwa Perbuatan Melanggar/Melawan Hukum haruslah dianalogikan sedemikian rupa jika salah seorang mengalami kerugian atas kesalahan seseorang seperti yang diatur didalam pasal 1401 B.W Belanda yang kemudian disadur dalam B.W Indonesia kedalam pasal 1365 KUHPerdata.


Jika membandingkan antara Jurisprudensi hoge raad pada tahun 1919 dengan perkara antara Penggugat dan Tergugat secara sekilas, Jelas Tergugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian sehingga adalah suatu kewajiban bagi Tergugat untuk mengganti seluruh kerugian yg diderita oleh Penggugat.

Bahwa benar Tergugat haruslah mengganti kerugian yang diderita oleh Penggugat, namun apakah benar peristiwa kebakaran merupakan kesalahan instalasi listrik yang merupakan tanggung jawab Tergugat?

Seperti yang diharuskan dalam Hukum Acara Perdata, bahwa apa yang didalilkan oleh Penggugat harus dapat dibuktikan didalam persidangan, dan Tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya. Ternyata, fakta hukum yg timbul didalam persidangan adalah:

  1. Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya;
  2. Tergugat dapat membuktikan bahwa kebakaran yg terjadi di bengkel milik Penggugat merupakan kesalahan Penggugat sendiri;
  3. Asal Api adalah dari dalam bengkel Penggugat, bukan dari Instalasi Listrik diluar, dan hal ini tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh Penggugat;
  4. Saksi ahli kelistrikan menguatkan dalil bantahan Tergugat yang pada dasarnya merupakan pengetahuan umum, yang menurut hakim tidak perlu dibuktikan.


Dengan demikian, perbuatan melawan hukum / Onrecht matigedaad seperti yang didalilkan oleh Penggugat tidak dapat dibuktikan, sehingga Gugatan Penggugat Ditolak.

Ditolaknya Gugatan Penggugat tidak menimbulkan suatu euphoria bagi Tergugat, karena telah tersirat adanya suatu justifikasi terhadap kesalahan yang ditimpakan kepada Tergugat, bahwa gugatan yang diajukan hanya berdasarkan pendapat dan kliping koran yang tidak dapat dijadikan alat bukti, padahal untuk membuktikan asalnya api dalam suatu peristiwa kebakaran, haruslah ada suatu hasil pemeriksaan laboratorium forensik atas residu kebakaran yang dilakukan oleh Penyidik yang biasanya bekerjasama dengan pihak ahli kelistrikan dalam hal ini PT. PLN dan Insinyur Kelistrikan. Namun tindakan Penggugat yang telah mengajukan Gugatan, bukanlah merupakan suatu kesalahan ataupun sebuah politisasi untuk menjatuhkan Tergugat, adalah hak dari setiap warga negara yang cakap dalam hukum untuk mengajukan Gugatan didepan pengadilan, jika ia merasa telah dirugikan atas perbuatan yang disebabkan oleh orang lain. Tugas dari majelis hakimlah yang menentukan apakah gugatan tersebut dapat dibuktikan ataukah sebaliknya. Tentu saja hal ini demi memenuhi rasa keadilan bagi justitia bellen yang dalam hal ini masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban dalam porsinya masing-masing dan sama didepan hukum.

Minggu, 07 November 2010

HIPOKRASI

Manusia, makhluk Tuhan yang superior, dilahirkan dengan sebuah kemampuan untuk berpikir dalam segala bentuk yang diinginkannya, dimana kemudian hal ini di telurkan menjadi berbagai karya dengan segala bentuk dan dimensi yang diinginkannya, bebas dan liar, tidak terikat dan terbelenggu oleh aturan manapun. Hasil karya dari seseorang pun dapat di-interpretasikan dalam berbagai keinginan dalam imajinasinya yang bebas. Itulah inti dari demokrasi berpikir, liar tanpa batasan. Hal ini kemudian memicu orang untuk menuliskan dan mengutarakan pemikirannya, dimana kemudian muncul tren untuk menuangkan segala pemikirannya melalui dunia maya dan telepon seluler, baik itu berupa blog, miny blog, maupun sms dan messenger. Hal ini sangat saya apresiasi sebagai sebuah kemajuan orang dalam berpikir, sebagai sebuah bentuk demokrasi berpikir (suatu hal yang sangat saya agung-agungkan). Namun dampak dari hal ini kemudian memicu berbagai kalangan menjadi filsuf dadakan yang mempunyai pola pemikiran yang seharusnya merupakan hal yang baik, namun menjadi sangat menjengkelkan ketika hal ini kemudian dikumandangkan dengan ekspresi “seolah-olah” dia benar dan superior, padahal tingkah laku dan kelakuannya tidak mencerminkan apa yang seharusnya dia lakukan sesuai dengan tulisan-tulisannya yang terkesan menasehati. Tulisan-tulisannya yang mengajarkan manusia untuk ingat akan sebuah ide yang bernama Tuhan digaungkan secara terus-menerus menjadi sebuah hal yang menjengkelkan ketika penulis itu sendiri tidak mencerminkan hal yang paling mendasar dari prinsip sebuah ke-Tuhanan, yaitu Hormat terhadap sesamamu, bahwa penulis itu sendiri tidak pernah mengerti akan sebuah ide “semua manusia itu dilahirkan sama dihadapan Tuhan”, bagaimana dia bisa menyuruh orang untuk ingat kepada Tuhan ketika ia sendiri sebenarnya tidak ingat akan Tuhan itu sendiri. Prinsip hipokrasi seperti ini berlangsung berulang ulang kali, karena apa yang dicarinya adalah sebuah pujian akan betapa bagusnya tulisan yang digaungkannya, sebuah keinginan agar orang berbuat baik dalam hidupnya dengan suatu cara superior – inferior, ketika dia masih memandang dengan sebelah mata orang-orang yang berbeda dengan dirinya, ketika dia masih memandang dengan dengusan napas yang panjang ketika orang itu tidak hidup dalam level yang sama dengan dirinya. Hal ini membuat tulisannya menjadi sangat menjijikkan karena apa yang dilakukannya adalah menampar orang lain dengan tangannya yang masih kotor. Ini mengingatkan saya terhadap percakapan oom Bob Sadino dengan seseorang yang bertanya padanya “oom bob, nanti milih masuk surga atau neraka? Oom bob menjawab “masuk neraka, kenapa begitu? jangan kau meminta untuk masuk surga kalau kau sendiri masih berlumuran dosa, apa tidak malu sama Tuhan?” bukankah itu yang seharusnya dilakukan? Apa saya berhak untuk mengatur seseorang untuk hidup baik dengan kesan keangkuhan yang dapat melukai perasaan orang lain? Kita bebas bermain dengan jalan pikiran kita, kita bebas mengutarakan apa yang kita inginkan, namun apa yang harus diingat mengenai prinsip kebebasan adalah, “kebebasanmu berakhir ketika hak dari orang lain muncul” hak untuk dihargai sebagai manusia yang utuh. Saya bebas melakukan apa yang saya inginkan, tapi dalam batasan apa yang saya lakukan itu tidak melukai Asasi dari manusia lain, saya tidak perlu ditampar oleh tangan kotor, karena didalam Alkitab-pun ada peristiwa dimana Yesus pernah mencegah masyarakat yang akan me-rajam seorang pelacur dengan menggambar sebuah garis didepan pelacur yang telah jatuh bersimpuh di tanah itu dan berkata “ia yang tak berdosa silahkan melempar batu yang pertama” apakah engkau akan melempar batu-mu? Ataukah engkau akan beranjak pergi seperti manusia-manusia munafik yang merasa dirinya superior.

Minggu, 24 Oktober 2010

Gali lobang tutup lobang.

Hutang, nikmat untuk di lakukan, sakit ketika membayar. Mungkin kalimat ini seringkali kita dengarkan, ataupun kita juga sering melakukannya bukan? Apalagi dengan adanya tawaran-tawaran kartu kredit maupun kredit tanpa agunan dari bank dan badan finance. Mau apa-apa tinggal kredit, mau apa-apa tinggal gesek, kalo sudah waktunya membayar seringkali kita mengomel dan takjub melihat angka dari credit bill yang muncul. Well pola hidup seperti ini sudah berlangsung di Negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, dimana kelas menengah pada umumnya hidup dengan menggunakan kartu kredit, semuanya di kredit, mulai dari furniture, bahkan yang saya dengar dari klien saya yang pernah hidup di Washington selama beberapa tahun, bahkan pot bunga pun di beli dengan cara kredit. Pola hidup seperti ini, pada akhirnya akan berimbas pada over debt dengan tidak adanya kemampuan untuk melakukan pembayaran. Yang akhirnya si debitur akan bangkrut. Well ini yang bisa saya simpulkan dengan logika saja, jika salary atau gaji yang diterima tiap bulannya habis untuk membayar kredit, maka jika ada pengeluaran baru yang muncul, darimana kemampuan untuk melakukan pembayaran tersebut? Fenomena ini pernah muncul di acara oprah winfrey show.

Fenomena over debt ini sekarang mulai muncul di-Indonesia, bahkan saya mendapat beberapa klien yang mempunyai over debt kartu kredit dan kredit tanpa agunan hingga nominalnya bisa mencapai milyaran rupiah. Bagaimana ini bisa terjadi? “gali lobang tutup lobang” yang diperlukan hanyalah satu kartu kredit awal dan track record yang baik untuk satu tahun pertama. Jika anda mempunyai kartu kredit dengan track pembayaran yang baik, maka bank yang lain akan menawarkan kartu kredit dengan program-program unggulan mereka, yang kemudian disusulkan dengan kredit tanpa agunan dengan bunga rendah yang nilainya bisa mencapai Rp. 150.000.000 tanpa agunan sama sekali. Bayangkan ngilernya manusia mendapat uang tunai sebesar itu tanpa adanya jaminan yang diberikan. Hal ini kemudian menjadi kebiasaan memutar, jika pada saat jatuh tempo pembayaran dan anda tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pembayaran, maka apa yang bisa dilakukan? Gesek tunai dari satu kartu kredit untuk membayar tagihan lainnya di level pembayaran minimal, perputaran seperti ini akan menimbulkan denda dan bunga. Yang akan berjalan dan bertumpuk, yang pada akhirnya semua kredit yang ada akan mencapai limitnya dan macet.

Bagaimana aspek hukumnya jika debitur tidak bisa membayar kredit tanpa agunannya jika terjadi kemacetan seperti ini? Jawabannya tidak ada selain nama anda akan dilaporkan ke Bank Indonesia sebagai debitur dengan kredit jelek atau biasanya disebut black list, dimana dengan adanya black list seperti ini, anda tidak akan bisa mendapat kredit dari bank maupun badan finance manapun juga sampai adanya pemutihan dari Bank Indonesia. Berbeda dengan Amerika Serikat, dimana kreditur mempunyai hak untuk melakukan penarikan barang atau harta yang dipunyai untuk melunasi hutang dari debitur, yang disebut dengan repo dimana pada saat terjadi kemacetan dari debitur, maka repo akan mendatangi si berhutang dan manaksir nilai harta benda darinya untuk pelunasan hutangnya. Sedangkan di-Indonesia, kreditur tidak mempunyai hak ini sama sekali, maka itulah aspek perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang terhadap bank sebagai kreditur tanpa agunan tidak ada. Jika kemudian pihak kreditur akan mendatangi debitur dan melakukan penaksiran akan menarik harta kepunyaan debitur sebagai prestasi atas hutang debitur, maka hal ini bisa dikategorikan eksekusi liar dan tidak dibenarkan sama sekali di mata hukum.

Karena peristiwa hukum antara kreditur dan debitur kredit tanpa agunan ini sifatnya adalah perjanjian biasa yang memenuhi syarat seperti yang diatur didalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata pasal 1320 tentang syarat sah-nya perjanjian. Jika kemudian debitur tidak bisa melakukan pembayaran atas hutangnya, maka didalam hukum ini disebut dengan wanprestattie/wanprestasi atau keadaan ingkar janji dengan tidak melakukan apa yang telah disanggupinya. Namun tidak serta merta kemudian kreditur mendapat hak untuk melakukan penarikan ataupun sita atas harta benda debitur, karena proses pemaksaan yang dapat dilakukan oleh debitur atas hal ini adalah melalui satu Gugatan Wanprestasi yang harus dilakukan di domisili dari Debitur, dan harus dibuktikan melalui proses panjang peradilan pada umumnya, dimana didalam gugatan tersebut, debitur sebagai Penggugat akan meminta melalui pengadilan negeri untuk melakukan penyitaan terhadap harta benda dari debitur yang mengakibatkan status dari harta benda tersebut dibawah penjagaan dari Pengadilan Negeri setempat. Dimana harta ini akan bisa dieksekusi setelah adanya putusan hakim atas gugatan disertai dengan adanya penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri atas harta benda tersebut.
Dari serangkain proses panjang yang harus ditempuh oleh Kreditur untuk mendapatkan hak nya sebagai prestasi dari piutangnya, banyak kreditur yang kemudian mengambil jalan pintas dengan menggunakan debt collector maupun jasa preman untuk melakukan penagihan, dengan menggunakan jasa preman dan debt collector pun, terkadang menemui kendala, karena bisa dilaporkan ke pihak kepolisian. loh? terus bagaimana nasib kreditur yang sudah mengucurkan kredit? ya, masih banyak jalan menuju ke Roma, tokh hutang itu harus dibayar, masak mau sih manusia hidup dengan hutang yang menumpuk? Janganlah berhutang lebih dari kemampuan anda, kalau tokh bisa dibayar dengan tunai kenapa harus hutang.

Kamis, 22 Juli 2010

Advokat Indonesia

Ricuh di Mahkamah Agung pasca ditanda-tanganinya Nota Kesepahaman (MoU) antara PERADI dan KAI yang sudah mengarah pada tindakan anarkis benar-benar menunjukkan ke-tidak-profesionalan dari baik itu dari Advokat yang bertikai dan Ketua Mahkamah Agung sendiri. MoU jika ditilik dari Esensi-nya sendiri merupakan Nota Kesepahaman saja yang masih merupakan draft mentah yang harus diikuti oleh Perjanjian yang mengikat sebagai Undang-Undang bagi pihak yang membuatnya - Pasal 1338 KUHPerdata. namun kemudian berbekal MoU ini, Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpah mengeluarkan SK 089 yang memerintahkan seluruh Ketua Pengadilan Tinggi untuk sesegera mungkin mengambil Sumpah para calon advokat dengan rekomendasi dari PERADI (dimana didalam SK ini juga Mahkamah Agung hanya mengakui PERADI sebagai Organisasi Tunggal). Padahal, kesepakatan yang masih dituangkan dengan MoU haruslah diikuti oleh Perjanjian inti yang mengikat, pada kenyataannya, antara PERADI dan KAI sendiri masih terkesan belum menemui sebuah kesepakatan baku atas konflik ini. hal inilah yang kemudian memacu adanya demo yang bersifat anarkis di Mahkamah Agung tersebut. latar belakang psikologis adanya demo ini bisa dipahami meskipun tidak elegan dan melanggar hukum, ribuan Kandidat Advokat dari Kongres Advokat Indonesia merasa terancam dengan adanya SK 089 ini, jika memang Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia hanya melakukan Penyumpahan terhadap Advokat dari PERADI saja, maka Perbuatan Lembaga Yudikatif Indonesia ini sudah merupakan tindakan Diskrimintaif dan melanggar Hak Asasi Manusia. seharusnya Mahkamah Agung tidak melakukan Intervensi terhadap Konflik Internal Advokat dengan Mengeluarkan SEMA 052 yang melarang Ketua Pengadilan Tinggi untuk melakukan Penyumpahan maupun 089 yang mengakui hanya Advokat PERADI saja sebagai satu-satunya organisasi yang dapat merekomendasikan Advokat untuk diambil sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi, karena Penyumpahan terhadap Advokat yang telah diangkat secara organisasi seperti yang digariskan didalam Undang Undang Nomor 18 tahun 2003 pasal 4, merupakan Kewajiban dari Pengadilan Tinggi.
kami advokat muda, mengharapkan adanya kebajikan dari baik itu Mahkamah Agung, dan para Petinggi KAI dan PERADI agar bisa lebih jeli dalam melakukan pendekatan demi bersatunya Advokat Indonesia terutama bagi kami advokat muda yang ingin mendapatkan Legalitas kami sebagai Aparat Penegak Hukum officium nubille, janganlah konflik tersebut merupakan konflik kepentingan beberapa orang saja yang dibawah ke ranah organisatoris yang mengakibatkan ketidak jelasan status ribuan orang.
Fiat Justitia Ruat Coelum!!!

Minggu, 09 Mei 2010

AGAMA dan TUHAN


Agama sebuah kata yang seringkali ditautkan dengan esensi dari ke-Tuhanan itu sendiri. Bahwa agama merupakan representasi dari wahyu Tuhan, dan terkadang agama itu dianggap sebagai Tuhan dalam seutuhnya. Tentu hal ini kemudian menjadi kabur, Tuhan dan esensinya menjadi hilang dan berbalur dengan apa yang dinamakan agama. Saya membaca Minnie blog dari Glen Fredly yang menurut saya merupakan filosofi dasar dan menggelitik sekaligus cukup memberikan orang waktu untuk berpikir selama 5 menit. Glen megatakan “jika agama itu di-Tuhankan, maka esensi dari Tuhan itu sendiri menjadi hilang. Masuk akal? Sangat! Karena jika manusia mulai men-Tuhankan agama, maka yang kemungkinan besar muncul sebagai impak dari hal ini adalah sebuah fanatisme sempit dan berlebihan dimana implikasi yang muncul menjadi sebuah chaos yang pada hakikatnya bertentangan dengan esensi agama dan ke Tuhanan itu sendiri. Jika kemudian kita melihat ke belakang, semua agama besar yang muncul di dunia mendapatkan pertentangan besar dan tidak diakui oleh masyarakat. Agama Yahudi yang dasarnya adalah agama yang pertama kali mengenal apa itu Tuhan, mendapatkan pertentangan dari orang mesir sehingga mereka harus dituntun oleh nabi Musa untuk bisa keluar dari Mesir dan lari dari kejaran Firaun menuju ke tanah yang mereka sebut sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka yang sekarang dikenal sebagai Israel, agama Yahudi bertahan sekian lamanya dan menunggu Mesias mereka yang sampai sekarang belum muncul. Kemudian muncul Yesus yang mendapatkan pertentangan besar-besar-an dari orang orang Yahudi yang bahkan dibunuh dan disalibkan di bukit Golgota, karena menyebut diri-Nya sebagai Mesias dan raja orang Yahudi, peristiwa ini kemudian menjadi kemunculan umat Nasrani. kemudian muncul agama Islam melalui Nabi Muhammad S.A.W yang kemudian mendapatkan pertentangan lagi dari masyarakat dan umat Nasrani, bahkan munculnya perang salib yang berkepanjangan. Jika kita lihat lagi sejak jaman Firaun, bukankah setiap kemunculan Nabi yang membawa suatu ide akan agama merupakan peristiwa yang sebenarnya merupakan perputaran peristiwa yang sama?

Apakah hal ini kemudian harus ditanggapi dengan sebuah perasaan sakit hati? Jika kita bisa lebih bijak menyikapi peristiwa sejarah yang telah terjadi, maka pembelajarannya adalah, apa yang telah terjadi dikesampingkan sebagai sebuah sejarah kelam yang tidak perlu diulangi lagi akibat suatu ide fanatisme yang sempit. Bukankah semua agama pada saat ini telah mempunyai pengikut-pengikutnya sendiri yang seharusnya membuat dunia ini menjadi lebih indah dan berwarna. Aturan-aturan hidup yang mendasar telah diatur ddidalam masing-masing agama, kenapa hal ini tidak bisa membuat kita semua hidup berdampingan dalam suatu keharmonisan yang ragami? Bukankah semua agama itu mengedepankan suatu kedamaian? Kenapa esensi dasar dari agama itu sendiri harus dirusak dengan suatu kebencian akan suatu ide yang berlawanan? Indah-nya hidup bernegara jika semua agama hidup berdampingan untuk menciptakan suatu kedamaian.