Selasa, 08 September 2009
Senin, 24 Agustus 2009
decreasing or my work performance
i don't know what's been going on with me lately, but reviewing on the works i've done i've been making 3 mistakes.
one fatal mistake that resumed as an embarrasement. i have to improve myself and over this situation, or it might get worst.
Jumat, 07 Agustus 2009
Hilangnya kedigdayaan Pengadilan
Dulu ketika saya masih sebagai seorang mahasiswa Hukum, adalah sebuah keharusan untuk berkunjung ke Pengadilan baik itu Negeri, Tinggi, Agama maupun Tata Usaha Negara. Diharapkan dengan kunjungan para mahasiswa ke perangkat hukum Negara ini, kita jauh mengetahui lebih banyak tentang praktek beracara, baik itu pidana, perdata maupun agama dan tatausaha Negara. Ketika kita masyarakat yang belum menjadi praktisi hukum mendengar tentang kata “pengadilan” dalam hati ada sebuah perasaan segan dan kagum. Bahkan ada juga yang takut hanya dengan mendengar kata Pengadilan. Ini sudah menjadi sebuah Doktrin yang berkembang didalam masyarakat. Bahwa pengadilan itu menakutkan.
Oleh karena itu, ketika saya menginjak semester V dan sebagai mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Praktek Peradilan Pidana, dimana diharuskan melakukan kunjungan ke pengadilan negeri. Saya merasa senang. Wah akhirnya saya bisa melihat kemegahan gedung pengadilan lengkap dengan perangkatnya. Akhirnya saya bisa melihat bagaimanakah teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan itu diimplimentasikan kedalam kehidupan peradilan. Saya bangga menjadi mahasiswa Hukum. Karena disinilah titik dimana saya akan memandang hukum dari mata yang sebenarnya. Bukan hanya buku-buku tebal para filsuf hukum yang menerbitkan pemikiran-pemikiran hebat. Tapi dari sinilah saya, kalau beruntung bisa melihat yurisprudensi dalam pembuatannya. Ketika tiba saatnya untuk melakukan kunjungan, kami para mahasiswa berkumpul dikampus dan diberangkatkan dengan bis. Saya melamun dan berkhayal tentang diri saya dibalut dengan jubah kebesaran pengacara lengkap dengan dasi putih yang bergantung. Sambil membawa buku-buku hukum melangkah masuk kedalam gedung, betapa bangganya saya didalam khayalan tersebut, betapa senangnya saya mengetahui bahwa hal itu akan segera terjadi dalam 2 tahun mendatang. Maka dari itu ketika bis berhenti tepat didepan pintu gerbang pengadilan, saya tersenyum.
Senyuman saya tidak bertahan lama, ketika saya masuk kedalam ruang lingkup pengadilan. Tepatnya dihalaman parkir. Terdapat suara-suara yang menyerukan kalimat-kalimat membingungkan “mas mau ngambil tilangan ya? Biar saya yang ambilkan mas, murah kok”. “Bapak sudah punya pengacara? Biar saya yang mengurus kasusnya”. Ternyata dihalaman parkir ramai terdapat berbagai macam orang yang tidak rapi sama sekali. Halaman parkir dipengadilan terkesan kotor, sampah dan puntung rokok dimana-mana. Lebih anehnya lagi banyak sekali calo-calo yang menawarkan jasa untuk menebus
Kebetulan agenda sidang yang akan kita observasi hari itu adalah sidang TIPIRING ( Tindak Pidana Ringan). Yang menjadi objek dari sidang itu adalah para Pekerja Seks Komersil dan para transeksual yang menjual diri mereka yang kebetluan tertangkap dalam sebuah operasi. Ketika seorang transeksual ditanya oleh hakim “sehari kamu bisa melayani berapa orang?” ia menjawab “ya kalau sedang ramai sih saya bisa sampai 5 atau 6 orang”. “melayani segitu banyak orang opo cangkemmu gak lower? (apa mulutmu tidak rusak)” hakim menjawab dengan bahasa jawa ngoko. Bahasa jawa ngoko adalah bahasa jawa kasar yang hanya dipergunakan dalam keseharian ketika kita berbicara antar teman. Kontan hadirin sidang menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Mereka menganggap hakim ini lucu dan punya selera humor yang tinggi. namun sesuatu yang lucu itu telah merendahkan harkat dan martabat dari seorang terdakwa. Biarpun ia hanyalah seorang transeksual yang menjajakan dirinya. Ia tetap adalah seorang warga Negara yang berhak mendapatkan perlakuan setara dengan warga Negara lain. Bukan dengan cara dihina didepan umum. Sebagai seorang hakim, seharusnya ia mengerti bahwa ia sudah melakukan tindakan penghinaan yang dapat mencemari nama baik seseorang, meskipun ia hanya seorang transeksual. Dan kembali kewibawaan dari pengadilan dihancurkan oleh tindakan yang memalukan yang kali ini dilakukan sendiri oleh seorang petinggi pengadilan itu sendiri, seorang hakim. Pemikiran dimana pengadilan adalah tempat para intelektual berkumpul dan melakukan adu argumentasi yang melahirkan demokrasi pun sontak luluh lantak dalam kejapan mata. Pengadilan menjadi sebuah tempat sirkus, dimana masyarakat bisa mendapat sebuah pertunjukkan yang menghibur dan terkesan lucu atas komentar-komentar yang sama sekali tidak intelek dari para hakim. Bagaimana masyarakat bisa menghormati aparatur Negara, kalau justru perangkatnya tidak pernah menghargai rumah mereka sendiri.
TIKUS TIKUS DEMOKRASI
Ibu pertiwi menangis, ibu pertiwi tersenyum, ibu pertiwi tertawa.
Hari itu, pertengahan 98
Manusia bergelora, manusia bersambut gelak tawa
Hari itu, pertengahan 98
Kami menangis, kami tertawa, kami puas
Hari itu, pertengahan 98
Mereka tersenyum, mereka tertawa, mereka termenung
Hari itu, pertengahan 98
KITA MEMEKIKKAN KEMENANGAN!!!
Hari ini, pertengahan 09
Kami menangis, kami miris, kami kecewa
Hari ini, pertengahan 09
Ibu pertiwi menangis darah, darah kekecewaan
Hari ini, pertengahan 09
Tanah air terkoyak, sobek oleh kerakusan
Hari ini, pertengahan 09
Sia –sia, kosong, habis termakan
Hari ini, pertengahan 09
Tikus-tikus reformasi bergelora, bersemangat, bergembira
Hari ini, pertengahan 09
KAMI KECEWA, KAMI MENANGIS, KAMI TERSEDU, KAMI DISOBEK-SOBEK!
KAMI TERTIPU, KAMI TERTUNGGANGI.
Hari ini, pertengahan 09
PERJUANGAN TELAH USAI, KAMI TELAH MATI
DEMOKRASI MENGAJAL
TIKUS-TIKUS DEMOKRASI MEMBUNUH KAMI.
Sabtu, 01 Agustus 2009
goodbye Corry
pagi ini, seperti kebiasaan sehari hari saya, buka mata langsung baca koran. betapa kaget dan terhentak akan sebuah berita "Corry Aquino meninggal dunia".
betapa dunia berduka atas hilangnya sosok yang sangat demokratis, menggulingkan sebuah rezim dikatator dengan menggunakan kekuatan rakyat, "the people power" benar-benar tujuan politik dasar dari gerakan corry adalah Rakyat! bukan kepentingan pribadi yang mengatasnamakan rakyat. memori saya terbawa kembali ketika saya masih SMP (kalau tidak salah), ratusan ribu rakyat pendukung corry rela berkumpul dan menghalangi tank dan kekuatan militer yang kala itu masih dimiliki diktator Filipin Ferdinand Marcos. betapa dahsyat kekuatan wanita ini, sosok perempuan kecil berkacamata mampu melawan rezim yang begitu hebatnya, begitu diktatorialnya dan menggulingkannya dengan kekuatan rakyat. gerakan ini sekaligus menghantarkan Corry menjadi Presiden Filipina yang kesebelas. namun dengan peninggalan warisan pemerintahan yang begitu korup dari Ferdinand Marcos tidak serta merta membuat Corry mencicipi nikmatnya duniawi kekuasaan, dia tetap pada jalurnya, berjuang demi rakyat, memberrantas korupsi, hal inilah yang tidak pernah saya temukan didalam pemerintahan manapun juga. kapan Indonesia bisa mempunyai Sosok Pemimpin bersahaja seperti Corry Aquino.
bagaimanapun juga, selamat jalan Corry, Engkau adalah Sejarah Dunia yang tidak akan bisa terkikis oleh waktu. Rest In Peace.
Rabu, 29 Juli 2009
Nista Manusia terhadap Tuhannya
Seorang anak kecil berkulit putih bersih berdiri meratapi seonggok daging manusia yang terbakar, hangus legam tanpa menampakkan identitas, namun hal itu tidak membuat si anak menjadi takut, tetapi ia terus menatap dengan mata yang tidak basah namun haru. Kemudian ia mulai beranjak pergi dari onggokan mayat yang tidak mempunyai arti itu lagi, ia menapaki sebuah jalan berdebu dan rusak, sebuah jalan yang dahulu merupakan sayatan nadi kehidupan bagi umat perkotaan, dimana segala interaksi sosial bertemu dan bercampur baru dalam keringat hedonisme, namun jalan itu kembali menampakkan wajahnya yang sesungguhnya, sebuah wajah yang tak berarti tanpa nama, sebuah tembang kenangan yang “pernah hebat” namun sekarang tidak membunyikan pekikan yang mengalunkan keharmonisan hiruk kota. Si anak berjalan menyusuri jalan yang dihiasi oleh puing-puing bekas bangunan yang sudah pernah menghiasi jalanan ini, sebuah imajinasi menggelayut didalam pikirannya, ia membayangkan betapa megahnya jalan ini kala manusia bersatu padu dalam sebuah ritme kehidupan metropolis yang serba cepat, dimana kehidupan berjalan selama 24 jam dengan gemerlapnya lampu-lampu
Selama dua jam Kevin (nama anak itu) duduk membisu di trotoar jalan
Kevin, seorang anak berumur 13 tahun melihat semua ini dalam perspektifnya sendiri, pemikiran yang jauh melampaui filosofis manusia-manusia bodoh yang telah terangsang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak logis, bahwa semuanya itu adalah sesuatu yang harus dicapai oleh mereka demi mendapatkan hidup bahagia adalah pemikiran yang salah, sama sekali salah. Kevin kemudian melangkah pulang kerumahnya, ia telah bosan dan muak melihat semua ini, sesuatu dalam perutnya bergejolak menyuruhnya untuk segera meninggalkan tempat yang menyesakkan dada ini, ia malangkah dengan cepat setengah berlari, sambil menutup mulutnya ia melewati untaian mayat yang berjejer-jejer tanpa tuan dan pemilik, berserakkan seakan meneriakkan nama mereka agar segera dibersihkan, namun tidak terjadi sesuatu, Kevin adalah satu-satunya makhluk hidup yang bernapas dan bergerak ditempat itu, langkah Kevin mulai terlihat sebagai sebuah larian, ia berlari dengan terburu-buru meninggalkan semuanya itu, kini wajah Kevin menampakkan ekspresi ngeri dan takut, entah apa yang ada didalam pikiran anak ini, namun sengalan napasnya menampakkan sebuah kecemasan yang luar biasa, situasi mencekam dan sunyi ini dipecahkan oleh derap beberapa kaki yang menggemakan tebalnya sol sepatu, “ya Tuhan, bawa aku pergi dari sini, bawa aku pergi dari sini Tuhan, selamatkan aku dari orang-orang ini” Kevin berteriak dalam hatinya. Langkah-langkah tersebut mulai membunyikan ritme yang cepat dan marah, Kevin masih terus berlari melewati sebuah bangunan tua yang selamat dari amukan
Mereka mencari kedalam setiap sudut-sudut ruangan dengan seksama, diiringi kilatan lampu senter karena matahari telah menampakkan kejenuhannya terhadap dunia, mereka mengobrak-abrik tempat itu sehingga keindahannya tidak lagi terlihat, mata seorang dari para lelaki tersebut tertuju pada sebuah lemari tua yang kecil, ia melangkah dengan memicitkan matanya seakan-akan lemari tersebut tidak dapat dilihatnya dengan jelas, ia membisikkan sesuatu kepada rekannya dan menunjuk ke lemari yang berada didepannya itu, kemudian lelaki itu mulai meraih engsel pintu lemari dan memutarnya, lemari itu terkunci dan tidak mau membukakan pintunya, dengan perasaan emosi lelaki itu mulai menendang-nendang lemari agar bisa menghancurkan pintunya. Kevin jongkok terpaku, matanya kosong menatap ke pintu lemari yang sedang ditendang-tendang, tubuh mungilnya bergetar karena takut dan cemas, namun suara dalam hatinya berkata agar Kevin tenang, suara tersebut mempunyai sebuah getaran yang mempunyai suatu aura untuk membuat orang menaatinya, Kevin berangsur-angsur pulih dari ketegangannya, namun tendangan di pintu membuat hati Kevin kembali berlomba-lomba mengejar perasaaan tenang yang sudah berlari jauh menninggalkan tempatnya. BRAK!! Pintu lemari itu hancur berkeping-keping. Terlihat seorang anak kecil yang menanjak remaja duduk jongkok, ketakutan akan masa depannya, segala yang pernah terjadi tiba-tiba melintas begitu saja dihadapan Kevin, ”apa yang pernah terjadi dalam hidupku? Aku masih terlalu muda untuk mati, aku belum melihat dunia. Tuhan! Saya berseru kepadaMu, jika Engkau mau rengkuhlah aku dari tangan-tangan manusia biadab ini” Kevin berteriak dalam hatinya.
Kedua tangan besar dan kotor menarik Kevin dari lemari tersebut. Ia diangkat layaknya seekor binatang yang dapat menjangkitinya dengan penyakit ganas. Kemudian lelaki tersebut berseru kepada temannya “lihat apa yang kutemukan! Seekor anak yang mencoba bersembunyi dari kita. Hai engkau bocah, apa kau pikir engkau sudah sangat hebat?” lelaki tersebut tertawa terbahak-bahak, sebuah ekspresi kepuasan muncul dari raut wajahnya yang sumringah seperti orang bodoh. Kemudian teman dari lelaki tersebut datang menghampiri dirinya, mereka berdua berdiri, melihat dengan pandangan nafsu kearah Kevin. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, namun ekspresi wajah mereka menunjukkan terror yang berlebihan.
Nyali Kevin menciut, air matanya mengalir dalam sebuah alunan kesedihan bercampur takut yang luar biasa. Kevin kemudian dibawa oleh kedua orang itu keluar dari bangunan tersebut. mereka meghampiri teman mereka yang sedang berjaga didepan pintu “ wah wah wah, apa yang engkau temukan ini? Ternyata memang benar kita masih menyisakan satu orang lagi” ujar orang tersebut. mereka bertiga kemudian melangkah pergi dengan membawa Kevin. Setiap detak langkah yang berderap mengiringi jantung Kevin yang berdegup kencang mengikuti irama langkah mereka. Ia menutup mata selama perjalanan, ia terus berdoa dan berdoa, memohon agar Tuhan tidak mengambilnya dengan cara seperti ini, sungguh-sungguh Kevin tidak berani menatap masa depan yang sedang manantinya. Akhirnya Kevin tertunduk pasrah, tidak merasakan apa-apa, stagnan tidak berbuat apa-apa.
Orang-orang telah berkumpul menanti kedatangan dari prajurit-prajurit yang menamakan diri mereka, Utusan Tuhan, semua yang hadir disitu bersorak-sorai kegirangan menyambut ketiga orang tersebut dan Kevin. Kemudian muncul seorang perempuan dengan badan tinggi semampai, wajahnya cantik dan keras, kulitnya putih bersih, sungguh perempuan ini adalah sosok seorang perempuan yang cantik. Orang-orang tunduk akan kehadirannya, mereka menyebutnya “Sang”, yang artinya ia yang diagungkan. Sang berjalan menuju kerumunan yang terdiam sunyi, tidak ada sehelai benangpun yang melilit ditubuh perempuan ini, ia telanjang, benar-benar telanjang. Ia mengangkat tangannya dan semua orang yang hadir disitu mulai membuka baju mereka, kecuali Kevin. Kini sebuah pemandangan polos sedang berada dihadapan Kevin, ia memicingkan matanya, merasa dirinya belum pantas untuk menyaksikan hal-hal seperti ini. Tiba-tiba seorang perempuan muda dari kerumunan tersebut datang menghampiri Kevin dan mulai menelanjangi dirinya juga. Kini Kevin berdiri, polos tanpa tedeng aling-aling. “kita hanyalah manusia kecil, kita harus polos ketika kita datang dihapan Tuhan” Sang berkata kepada kerumunan tersebut. “dan kini, kita kedatangan seorang tamu, ia adalah sisa dari apa yang kita sebut kurban. Saya sudah mendapat wahyu dari Tuhan, tidak boleh kita sisakan satupun dari manusia-manusia rendahan selain pengikut kita, kita harus membasmi mereka semuanya. Dan hari ini saudara-saudara wahyu yang telah diturunkan kepada saya, akhirnya akan terpenuhi juga” Sang berkata yang diikuti dengan gumaman senang dari orang-orang yang hadir disitu. “dan kita akan menag!” salah seorang dari kerumunan tersebut berujar dengan lantang, yang diikuti dengan tepuk tangan riuh.
Sang berjalan menuju sebuah mimbar yang sudah disipkan seblumnya oleh para pengikutnya. Ia berdiri layaknya seorang Jendral yang sedang memimpin pasukannya. “tahukah saudara-saudara, bahwa hari ini perjuangan kita terhadap Tuhan akan segera berakhir dengan kemenangan, kita akan diberi hadiah yang besar akan kemenangan ini, kita akan segera berkumpul dengan Tuhan kita yang agung. Kita akan menzolimi semua orang yang tidak mau mengikuti Tuhan. Ia kemudian mulai menyerukan kata-kata dengan bahasa yang sulit dimengerti. Kerumunan orang-orang itu tertunduk seperti sedang berdoa. Terdengar raungan-raungan tangisan yang tersedu-sedu, upacara kurban untuk yang kuasa, bahwa segala sesuatu akan berubah menjadi sesuatu yang baik. Bahwa pemikiran manusia telah menciptakan sebuah Tuhan yang baru. Bahwa segala sesuatu yang ajaib didunia ini telah direspon oleh seorang filsuf yang dangkal, membuat suatu pemikiran yang salah menjadi benar. ketika mereka berpikir mereka sedang menyembah dan mengagungkan Tuhan, justru mereka perlahan-lahan menusukkan sebuah tombak kedalam lambung Tuhan.
Kevin berkeringat melihat pemandangan ini, sebuah pemandangan yang menyilaukan hati nurani dari seorang anak yang begitu polos. Ia menangis, menangis akan Tuhannya yang sedang dirobek-robek dihadapannya.
Orang-orang itu bergeming. Kekuatan dalam kata-kata Kevin tidak mampu untuk menyadarkan mereka dari keadaan trans yang dalam. Sebuah keadaan hipnotisme yang diinginkan oleh mereka sendiri. Mereka menjadi sangat marah kepada Kevin yang telah menghina Tuhan yang mereka ciptakan sendiri. Sang kemudian memerintahkan prajuritnya untuk segera mengeksekusi Kevin. Tubuh kecil Kevin menjadi lunglai tak berdaya ketika dua orang berbadan besar mengangkat Kevin dan mulai mengikat Kevin pada sebuah tiang yang diatur diatas tumpukan kayu. Kini Kevin terpaku seperti patung totem yang diukir oleh orang-orang Indian dalam upacara kurban. Air matanya terus mengalir melihat kebejatan kerumunan ini.
Salah seorang dari kedua orang yang tadi mengangkat tubuh Kevin mengambil sebuah tombak berkilat yang sekiranya akan dicucukkan ketubuh kecil dari anak yang tidak berdosa ini. Kevin menutup matanya dan berdoa, “biarlah Tuhan, jika ini memang apa yang Engkau inginkan, maka terjadilah” Kevin berujar didalam hatinya. Kemudian lelaki tersebut menusukkan tombak itu ke dada kiri Kevin, ia berteriak kesakitan. Namun teriakan itu hanya berlangsung sebentar. Orang-orang terperanjat kaget melihat apa yang sedang terjadi dihadapan mereka. Kevin memicingkan matanya, melihat apa yang sedang terjadi, karena ia tidak merasakan apa-apa selain kaget. Tombak yang tadi dipakai untuk menusuk tubuhnya kini tergeletak ditanah, patah menjadi dua. Sang eksekutor tertunduk, tidak percaya akan apa yang sedang dilihatnya. Ia kemudian mengambil sebilah pedang yang disodorkan oleh Sang, karena eksekusi pertama tidak berhasil. Pedang itu kemudian ditebaskannya kearah leher Kevin. Namun besi tipis itu hanya bisa bergetar ketika menyentuh lehernya.
Kevin merasa kuat, ia menegakkan kepalanya, tersenyum kepada mereka. Namun orang-orang itu masih tidak mau mempercayai apa yang mereka lihat. Sang eksekutor kemudian mengambil obor dan menyulut kayu-kayu kering yang berada dibawah Kevin. Api berkibar dengan murka, tubuhnya menghilang tidak terlihat. Hanya jilatan-jilatan api yang terlihat sedang mengasah dan memanggang apapun yang berada diatasnya. Kerumunan itu kembali beruara dengan riuh, senang karena merasa kali ini tidak meungkin Kevin akan selamat. Tiga puluh menit keadaan mengerikan ini berlangsung. Ketika api yang mebakar kayu-kayu itu mulai padam, terperanjatlah kerumunan tersebut, karena tubuh anak kecil yang sedang dipanggang itu masih berdiri dengan bersihnya. Namun kali ini tubuh Kevin tidak lagi terikat pada tiang kayu, karena tiang kayu tersebut sudah habis terbakar. “Lihat apa yang sedang terjadi? Sadarkah kalian bahwa Tuhan berada dibelakangku dan melawan kalian semua?” Kevin berteriak kepada mereka. Kemudian terdengar suara gemuruh dan langit berubah menjadi gelap. Kevin kemudian melangkah, mengambil bajunya dan memakainya kembali. Ia kemudian berjalan pergi meninggalkan manusia-manusia dungu tersebut.
“
Undang-Undang Pornografi - sebuah tindakan pembunuhan seni.
Mungkin tulisan ini udah agak tidak relevan untuk sekarang, karena tokh ini sudah diundangkan, dan sepertinya juga sudah tidak terdengar suara protes dimana-mana. tapi tokh yang harus diingat, Undang-Undang Anti Pornografi pernah ditentang dengan sangat keras oleg berbagai media.
setahun belakangan ini santer terdengar di berbagai media ulasan tentang RUU anti pornografi dan pornoaksi yang masih digodok oleh DPR, bahkan kini udah disahkan menjadi Undang-Undang Anti Pornografi. opini masyarakat dibelah menjadi dua oleh undang-undang ini, pro dan kontra menjadi sebuah sajian istimewa dalam topik pembicaraan dan ulasan opini di berbagai media massa. Ketika kita melihat esensi dari porno itu sendiri kita terbentur oleh estetika seni, apa yang menjadi porno ketika sebuah karya seni berbicara? kalangan seniman manjadi berang dan takut dengan RUU ini, akankah rancangan ini melimitasi ruang dan gerak dari seniman dalam berkreatifitas? Apakah segala aspek yang diperlukan untuk menggali kretifitas seni akan ditinggalkan dengan alasan norma yang dipaksakan?
Sebuah gambaran wanita atau pria telanjang dilihat dari dua muka, bagi kalangan yang mengerti seni sebuah ketelanjangan adalah gambaran keindahan manusia yang secitra dengan apa yang hakiki sebagai ciptaan Tuhan, manusia dilahirkan dengan keadaan telanjang sehingga keindahan manusia itu sendiri harus dilihat dalam ketelanjangan, sedangkan bagi kalangan yang tidak mengerti esensi dari keindahan seni, menganggap sebuah gambaran manusia telanjang adalah sebagai sesuatu yang bisa membangkitkan gairah, sehingga dia dapat bermain bebas dalam imajinasinya yang liar dan nakal. Penilaian terhadap gambaran inipun terbagi menjadi dua, menyukai dan membenci atas nama moral dan agama.
Perbincangan mengenai karya seni yang pornopun harus dilihat jauh kebelakang. Jika karya-karya yang mengumbar ketelanjangan manusia itu ingin dilihat sebagai karya seni, maka ruang apa yang harus dipakai? Apa batasan-batasan yang dapat dipakai sehingga karya seni itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat porno? Ataukah tergantung dari manusia yang melihatnya itu sendiri, adalah betul jika dikatakan bahwa porno adalah sebuah konsep yang dibentuk oleh pikiran manusia itu sendiri, bahwa sesuatu yang bersifat seni menjadi porno ketika manusia itu sendiri yang melihat sesuatu sebagai porno, namun jelas ada beberapa hal yang memang disengajakan sebagai sesuatu yang bersifat porno, seperti foto-foto dalam beberapa tabloid yang jelas-jelas mengumbar syahwat yang tidak mempunyai rasa seni, hal ini memang tidak disengajakan sebagai sebuah karya seni namun bertujuan sebagai gambar yang menjejaskan tubuh manusia sebagai objek kebejatan moral.
Sabtu, 25 Juli 2009
Masyarakat vs Pengembang
hari ini sepertinya akan ada gerakan dari masyarakat yang merasa mendapat ketidak adilan baik itu dari pemerintah maupun pihak pengusaha (pengembang), kasus ini adalah salah satu contoh kasus struktural yang kami tangani selama ini.
sebenarnya masalah yang dialami sangat simpel, seharusnya sebagai pihak pengusaha, didalam membuka lahan, masyarakat sekitarnya haruslah mendaatkan kompensasi dalam bentuk apapun juga, entah itu pembangunan tempat ibadah, saluran air, pos, jalan atau apalah. Tetapi justru kebalikan yang terjadi, kali ini pengembang malah tidak memberikan suatu kontribusi kepada masyarakat yang sudah memukimi desa tersebut selama puluhan tahun, malah sebaliknya Fasilitas Umum yang dibangun oleh masyarakat desa sendiri dipakai oleh pihak pengembang, contohnya jalan desa dipakai sebagai tempat lalu-lalang mobil dan truk-truk proyek sehingga menimbulkan kerusakan yang notabene merugikan masyarakat desa itu sendiri.
bagaimana mungkin masyarakat desa bisa menerima hal ini dan berdiam diri? protes demi protes, keberatan demi keberaatan telah diumumkan dan diberikan kepada pihak pengembang, namun "rawe-rawe rantas, malang-malang putung". peduli setan dengan masyarakat, yang penting pengusaha untung. dan lebih konyolnya lagi, segala ijin yang diperlukan untuk pembangunan properti telah dikantongi oleh pengembang tersebut. Bagaimana ini mungkin? padahal proses mendapatkan ijin tersebut haruslah mendapatkan persetujuan dari masyarakat sekitar. contoh: untuk bisa mendapatkan ijin mendirikan bangunan (IMB) seseorang haruslah mendapatkan persetujuan dari tetangga kiri, kanan, depan, belakang, ketua RT, RW dan kelurahan. bagaimana si pengembang bisa mengantongi IMB sedangkan masyarakat sekitar tidak ada yang menandatangani ijin tidak keberatan tersebut? kemudian hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, ada apa sebenarnya dibalik ini semua? apa ini surat sulapan? sampai kapankah fenomena seperti ini akan terus terjadi di era yang katanya reformasi? sampai kapankah pemerintah hanya diam melihat rakyat ditindas dan berteriak tanpa ada jawaban?
jika hari ini kami tidak berteriak meminta keadilan, maka besok dan besok akan kami teriakkan agar dijunjung tingginya keadilan, sampai bumi tidak berpijak, langit tidak berawan, kami dan masyarakat tidak akan bungkam untuk menutupi ketidak adilan...
KAKEK
Seorang kakek tua berparas legam dan berpenampilan buruk, berlari tersengal-sengal, nafasnya membiru dalam kedinginan malam, kakinya menjejakkan tanah yang berlumpur mengakibatkan terciptanya blontengan-blontengan noda pada celananya yang sudah keliatan berumur. “aku harus terus berlari, berlari tanpa tujuan, apakah ini tujuan akhir hidupku? Dengan semua kemenangan yang telah kuperoleh pada masa laluku? Apakah aku harus berhenti sampai disini saja?.... aku harus tetap berlari, berlari dan berlari sampai Tuhan mengambil kaki dari tubuhku hingga aku tidak sanggup berlari” dia berlari melewati gedung gedung tua dijalanan sempit. Gedung-gedung itu seakan tersenyum kepada kakek dan berkata “teruslah berlari teman, teruskan perjuanganmu, jangan berhenti, lihat apa yang terjadi pada kami generasi tua yang tidak pernah mau berlari, lihatlah dan camkan ini dalam otakmu teman. ENGKAU AKAN DIGANTIKAN, maka itu berlarilah teman dan tinggalkanlah kemunafikan dunia.” “apa yang terjadi pada kalian teman-temanku yang tua?” kakek bertanya kepada gedung-gedung tua tersebut. Kakek terhenti untuk sementara ketika pertanyaan ini hinggap di pikirannya. “bisa engkau lihat teman, kami sudah tua dimakan usia, kami sebenarnya masih sanggup menapakkan kaki di jalan ini, kami masih sanggup menahan alam dan rintihan hujan, namun manusia selalu sentimen terhadap setiap generasi tua, lihatlah gedung-gedung yang baru dibangun di depan sana, setiap hari mereka melihat kami dengan tatapan sinis mencemooh, seakan-akan kami ini hanyalah sampah yang tidak tahu diri, seakan-akan berkata sudah waktunya kami ini disingkirkan dengan bangunan yang lebih muda dan baru. Namun dengarkanlah wahai teman, kami lebih kuat daripada semua bangunan baru yang dibangun dengan cara berpikir modern manusia, kami lebih kokoh dalam menahan godaan alam dari Tuhan. Dinding kami lebih tebal, kami dapat memberikan kesejukan pada siang hari dan kehangatan pada malam hari teman, dengarlah hai teman, setiap hari saya melihat manusia-manusia sombong berpakaian putih dan berdasi mengamati kami, melihat kami dengan tatapan puas dan rakus. Mereka akan menggantikan kami dalam waktu dekat, mereka tidak tahu betapa pentingnya kami dimasa lalu, mereka tidak tahu betapa kami menyimpan sejarah kelam bangsa ini, mereka tidak tahu betapa pentingnya sejarah dalam arti keberadaban hidup manusia, mereka menganggap kami barang kadaluwarsa. Ini omong kosong, aku tidak akan tinggal diam, aku akan bertindak, aku akan melawan, aku akan menunjukkan bagaimanakah cara perjuangan pada dahulu kala itu dilakukan terhadap penjajah. Aku akan melawan, sampai batu terakhir dari fondasiku ini tercabut sampai ke akarnya!!! Gedung itu seakan menjawab pertanyaan yang tadi dipikirkan oleh kakek. Kemudian ia mengamati gedung tersebut dengan seksama, gedung itu sudah keliatan berumur lebih dari 150 tahun, bentuk bangunannya yang imperialis semakin megentalkan umurnya dalam balutan granit. “ck ck ck rumah yang besar dan kokoh, sayang sekali kalau dirobohkan” pikir kakek itu. Kemudian kakek itu mulai berlari lagi, dari kejauhan terdengar suara sayup sayup “selamat inggal teman, kuiringi perjalananmu dengan perjuanganku disini teman, berjuanglah”. Kakek kemudian berlari lagi, nafasnya tersengal mengalunkan sebuah melodi klasik yang sudah sangat lama tidak didendangkan oleh generasi tua. Cahaya kehidupan yang sudah sangat lama tidak terpancar dari dalam dirinya mulai kembali memancarkan kehangatan yang menjalar keseluruh tubuhnya, namun kemudian meredup lagi seiring dengan pelarian dari kakek itu. Dia melewati anak-anak kampung yang bermain dan berlari-lari dalam suasana
Kegelapan malam mulai menampakkan kejenuhannya terhadap bumi, langit pun mulai berubah pucat secara perlahan menggantikan pekat. Kakek masih berlari tersengal-sengal, mengantarkan kedatangan matahari yang mulai menyongsong seakan berkata selamat pagi. “ini bukan selamat pagi bagiku, ini bukan sebuah keselamatan sama sekali buatku, ini bencana, sebuah bencana yang datang secara pasti di akhir hidupku yang tengah berlangsung. Kemudian kakek melewati sebuah taman kosong, dia mulai teringat dengan taman ini, ini adalah taman yang menjadi tempatnya bermain dikala dia masih kecil. “kenapa taman ini berubah menjadi sebuah tempat yang mengerikan seperti ini? Apakah ini benar taman yang dulu itu?” sebuah kesangsian muncul dalam benaknya, keindahan taman yang dulu memancarakan keceriaan bagi anak-anak, kini menjadi sebuah tempat yang menjadi symbol kengerian
Kakek masih berlari dan terus berlari ketika kenangan itu hilang dari pikirannya, sebuah pelarian yang kelihatan sia-sia, namun pelarian ini bagi kakek adalah sebuah pelarian penebusan dosa yang harus dilakukan oleh kakek, sebuah pelarian yang harus dilaksanakan agar mencapai sebuah kesempurnaan hidup. Kakek melewati sebuah sekolah dasar, ia dapat melihat bahwa sekolah itu adalah bangunan yang mengumandangkan sebuah nilai prestise pada dinding-dinding sekolahnya, bangunan megah yang memancarkan kesombongan manusia akan harta yang dimiliki oleh mereka, sebuah bangunan yang didirikan atas dasar simbol keduniaan. “sungguh sebuah bangunan yang megah, apalah artinya bangunan yang megah dibandingkan dengan ilmu yang harusnya bisa diserap. Apakah ilmu itu harus dibagikan dengan sebuah gemerlapnya bangunan? Apakah tidak cukup anak manusia belajar didalam sebuah bangunan asri yang sederhana namun sejuk? Sungguh-sungguh megah dan konyol” kemudian kakek melanjutkan pelariannya, melewati mobil-mobil mewah dan berkilauan, melewati anak-anak bersih yang berjalan menuju istana pendidikan. Hari itu sinar matahari menikam bumi tanpa ampun, teriknya mentari menjadi sebuah kehampaan dalam pelarian kakek, kakinya mulai aus dimakan kelelahan, kakek duduk sebentar di pinggiran jalan sambil merebahkan badannya, kini kakek yang dulunya seorang manusia yang diselimuti aura kewibawaan brutal berubah pemandangannya tak ayal seperti seorang pengemis tua yang tak berdaya dimakan usia dan kemiskinan. Dia kemudian berjalan menuju sebuah kios rokok yang menjual minuman dan makanan ringan, kakek membeli sebotol minuman dingin dan sepotong roti untuk menghilangkan dahaga dan lapar, setelah beristirahat selama 15 menit, kakek mulai melanjutkan perjalanannya kembali menuju penebusan dosa, perjalanan itu panjang dan panas, lelah dan terik membuat kakek tidak sanggup lagi untuk meneriakkan semangat, namun kakek terus berlari, berlari dan berlari. Sebuah bangunan besar dan kumuh dilewatinya, dia berhenti sebentar menatap bangunan yang seolah memanggilnya kembali untuk melihat masa lalunya, dia berhenti sejenak untuk membersihkan pikirannya, kemudian memori itu kembali menghujam pembuluh otaknya, sebuah kenangan suram masa lalu, sebuah bangunan yang telah memagarinya dari kehidupan dunia, sebuah kamar berukuran 3x4 m yang telah mengurungnya dalam kesunyian dan kedamaian semu, sebuah tempat dimana kakek telah menemukan Tuhan.
Kakek dapat mencium aroma kopi panas yang pagi itu 20 tahun lalu ditenggaknya tanpa sebuah kompensasi pendinginan, aroma kopi yang membuat kakek teringat hari dimana kakek dimasukkan kedalam penjara. Dimana kakek telah melakukan sebuah pembunuhan besar, sebuah pembantaian, sebuah khaos dalam kehidupan fana, sebuah kehendak untuk berkuasa seperti sebuah faham yang dianut oleh kakek dalam penzikirannya terhadap pemikiran nitzsche. Kakek telah membantai sebuah keluarga dalam sebuah kegelapan malam. Dan hari ini kakek akan membayar semua itu dalam ganjaran penjara. Didalam penjara, kakek menemukan sebuah kedamaian terlepas dari semua gempita dunia, dalam penjara kakek menemukan sesuatu yang bernama penebusan, dalam penjara itu pula kakek menemukan Tuhan, sebuah pemikiran yang selama ini dihindari oleh kakek, sebuah kepercayaan yang menurut kakek hanya takhayul, namun kakek tidak menemukan Tuhan dalam agama, bagi kakek, agama itu hanyalah sebuah esensi yang semu, tidak bermakna, agama hanyalah sebuah mediator penghubung antara manusia dan Tuhan, agama adalah hampa tanpa sebuah kesungguhan kepercayaan. Kakek menemukan Tuhan dalam kesendiriannya, kakek mendengar Tuhan berbicara dalam mimpi-mimpinya, kakek menemukan Tuhan dalam pertobatannya, kakek hanyalah seorang pengelana yang telah menemukan Tuhan dalam kesunyian hati. Tuhan adalah sebuah suara yang menyerukan kebahagiaan abadi setelah kematian, Tuhan adalah seorang hakim agung yang akan menimbang segala perbuatan manusia didunia. Tuhan adalah Tuhan, Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat dianalogiskan dalam bahasa manusia. TUHAN. Kakek melewati hari-harinya didalam penjara dengan melakukan meditasi pikiran, ia membaca buku-buku tentang Tuhan, namun tidak satupun buku-buku tersebut yang menyiratkan akan agama, buku-buku itu hanya menyemburkan sebuah esensi moral, yaitu Tuhan, sebuah kekuasaan Ilahi tanapa embel-embel titel, sebuah kekuasaan agung tanpa pengangkatan resmi. Tuhan, sebuah pemikiran yang tidak realistis namun menakutkan, setelah sekian lama hidup tanpa Tuhan, akhirnya kakek menemukan sebuah kedamaian, sebuah cinta dalam Tuhan. Didalam suatu keheningan malam, ketika dingin menginjakkan kakinya dalam ruangan sel yang sempit dan apek, kakek sedang tidur dalam kesunyian, ada sebuah pengumandangan suara, sebuah suara yang berat dan berwibawa mengiang di telinga kakek “dengarlah hai engkau anak manusia, apakah engkau berharap bahwa engkau akan hidup abadi sebagai orang yang ditakuti oleh manusia? Apakah engkau berharap bahwa suatu saat tidak akan ada orang yang menuntut pembalasanmu? Engkau hanyalah seekor kecoak kecil yang dapat kuremukkan dengan satu jariku, sekarang katakan padaku, apa yang engkau harapkan dari kehidupanmu didunia ini?” suara itu berhanti dengan seketika, “ siapa engkau?” kakek bertanya, untuk pertama kali, dalam hidup kakek dia merasa takut akan sesuatu, suara itu mempunyai sebuah nada yang mengancam, suara itu mempunyai sebuah visualisasi terhadap sesuatu yang agung dan mega, suara itu dalam pikiran kakek adalah suara Tuhan, yang tidak pernah dikenalnya. “saya adalah awal, saya adalah akhir, saya adalah saya” sahut suara itu, kemudian suara itupun menghilang dalam keremangan malam. Kakek melewati malam itu dengan berpikir tentang artinya Tuhan, siapa Tuhan? Bagaimana Tuhan? Apa esensi dari Tuhan? Namun sepanjang malam dia tidak dapat menemukan jawabannya, pikirannya dibuat terlena dalam belaian bantal bau yang berlinang dengan kotoran. Kemudian kakek bangun pada pagi hari dengan sebuah pemikiran baru, “Tuhan adalah Tuhan, Tuhan adalah sebuah pemikiran yang diciptakan manusia akan hidup yang lebih baik, Tuhan adalah pengampunan, Tuhan adalah penebusan. Mulai saat itu, kakek mulai membuat rencana tentang penebusan dosanya, ia pun membuat rencana untuk melakukan sebuah pelarian terhadap dosa, sebuah pelarian untuk menghilangkan dosa.
Kemudian bayangan itu lenyap dari pikirannya, setelah ia melewati gedung penjara tersebut, kakek mulai berlari lagi, kenangan tentang penjara membuat kakek mendapat angin segar dalam tipisnya oksigen yang dihirupnya, membuat kakek kembali bersemangat dan kehilangan rasa capek, pelariannya kini berubah menjasi sebuah obsesi akan hidup sempurna, yang disebut kakek sebagai kehendak untuk berkuasa. Pelarian kakek menjadi sebuah sendi pilu dalam kedamaian hati, sebuah ungkapan kerinduan akan Tuhan dan kedamaian, kemudian kakek melewati sebuah jalan, jalan ini bagi kakek tidak tampak asing “saya tahu jalan ini, saya sepertinya ingat akan jalan ini” pikir kakek. Sebuah memori kembali menampakkan bayangan semu, sebuah visualisasi terhadap apa yang terjadi pada masa lalu. Kesedihan dan ketakutan menyelimuti wajah kakek pada saat ini, bayangan yang selama ini sudah diusahakan untuk dihilangkan dari pikirannya kembali bergelanyut dalam kepala kakek. Pagi itu, tidak seperti pagi-pagi yang lain, aura kegelapan menyelimuti tubuh kakek di pagi hari yang cerah, tidak tampak sebuah cahaya keceriaan dalam senyumannya yang sinis, dingin dan kaku. Sinar kesadisan dipancarkan dari matanya yang cowong dan hitam, sudah tiga hari kakek menelan hal ini seperti sebuah pil pahit yang dihancurkan dan dimasukkan dengan paksa ke dalam mulutnya, sebuah bayangan dendam muncul terus menerus dalam pikiran kakek, sebuah bayangan ketika ia diludahi oleh seorang pria didepan umum secara beruntun merasuki pikirannya, ludahnya itu terasa panas dimuka kakek, hasutan dari pikiran tidak sanggup dihalangi olehnya lagi, ia berjalan dengan tubuh yang merah membara, bumi terbakar oleh pijakan kaki kakek, sampailah ia didepan rumah lelaki itu, sebuah sayatan panjang menguntai pada leher lelaki tersebut, dengan disaksikan oleh istri dari lelaki tersebut, kakek dengan darah dinginnya mengiris dan melukai, tidak sampai disitu saja, sang istri pun ikut menjadi petanggungan jawab dari perbuatan suaminya. Sebuah pemandangan mengerikan yang dipertontonkan menjadi sebuah film horror yang akan terus bercokol dalam pemikiran masyarakat sekitar ketika mereka melihat rumah yang dibanjiri oleh darah, namun kakek tidak membunuh anak dari pasangan tersebut, anak itu dibiarkan hidup dalam kengerian, dibiarkan hidup dalam sebuah harmonisnya murka dan dendam. Ia melihat kakek dengan pandangan benci dan takut, menatapnya kedalam bola mata sampai menusuk kedalam hati yang paling dalam. Kakek pun melenggang pergi dari rumah tersebut dengan gontaian kepuasan akan sebuah ide balas dendam yang sempurna, sebuah kehendak untuk berkuasa. Kakek menitikkan air mata ketika pelarian kakek sampai pada rumah ini 20 tahun kemudian. Bayangan ini membuat kakek takut menghadapi masa depan, namun kakek memberanikan diri “aku harus bisa, inilah ganjaran yang harus aku terima ketika aku melakukan hal tersebut” kakek berkata kepada dirinya sendiri. Langkah kakek gemetar dan pelan, derapannya terasa berat ketika kakek memasuki halaman dari rumah tersebut. Kakek menatap dengan takut kedalam rumah tersebut, kemudian tangannya dengan berat hati menekan tombol bel rumah. Suara dari bel itu terasa panjang dan menakutkan, kemudian terlihat seorang pemuda tinggi keluar dari rumah tersebut, pemuda itu mempunyai karakter keras, namun dari pancaran matanya terdapat sebuah kelembutan yang tidak dapat dinalar. Kakek langsung mengenalinya dari tatapan anak tersebut, tatapan yang sama yang dilihat oleh kakek 20 tahun yang lalu. “ada yang bisa saya Bantu pak?” pemuda itu bertanya kepada kakek, kakek tidak langsung menjawab, namun hanya terdiam dan menunduk dengan rasa bersalah yang tidak dapat dinanya. “bapak tidak apa-apa?” pemuda itu kembali bertanya kepada kakek, seketika itu kakek jatuh dengan kedua lututnya menghantam tanah dengan keras, tangannya bergetar menghaturkan sebuah sembah dihadapan pemuda itu. Pemuda tersebut terheran-heran melihat hal ini, namun bayangan kejadian 20 tahun yang lalu langsung menerkam hati nuraninya, dia teringat akan muka sadis yang menggontai dengan santai pada 20 tahun yang lalu. “apakah bapak adalah orang yang telah membunuh kedua orang-tua saya?” pemuda itu bertanya kepada kakek, kakek hanya mengangguk tanpa mengeluarkan satu katapun, pancaran kemarahan dan kekecewaan kembali muncul dari dalam mata pemuda tersebut, namun pancaran tersebut meredup dengan perlahan, pancaran itu berganti dengan sebuah senyum ramah yang menyambut tangan dari pemuda itu untuk mengangkat kakek yang sedang bersimpuh dihadapannya untuk kembali berdiri tegak. “saya tidak mempunyai dendam kepada bapak, kejadian 20 tahun lalu sudah saya lupakan, setiap manusia pasti akan menemui apa yang disebut dengan kematian, hanya saja kita tidak dapat menentukan waktu dan mediatornya, itu hanya sebuah kebetulan bahwa orang-tua saya mati ditangan bapak, anda saya anggap sebagai mediator dari Tuhan untuk mengambil mereka dari saya, saya sudah memaafkan anda, saya tidak menyesali kematian orang-tua saya, karena bagi saya hanya kematianlah yang merupakan kebenaran absolut dalam dunia ini” kata-kata pemuda ini membelalakkan mata kakek, sungguh sebuah reaksi yang tidak disangka oleh kakek, sebuah kasih yang begitu besar terpancar dari dalam diri pemuda ini. “apakah engkau tidak merasa dendam kepada saya?” Tanya kakek, “tidak, tidak sama sekali, saya sudah lama tidak mendendam kepada bapak, memang saya masih merasa marah tadi, namun itu semua hanyalah perasaan sesaat, ketika bapak memasuki halaman rumah ini, itu sudah merupakan hukuman bagi bapak dalam pemikiran saya, sungguh anda adalah orang yang besar, saya kagum kepada anda karena telah berani datang dan meminta ampun dihadapan saya” pemuda itu menjawab pertanyaan kakek dengan suara lantang dan damai. Kakek berlinangan air mata ketika mendengar hal ini, kemudian mereka mulai berpelukan dengan erat. “terima-kasih nak, terima-kasih, sekarang saya bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, sekarang saya bisa meneruskan pelarian saya dengan langkah yang pasti, sekarang saya sudah siap menemui Tuhan” kakek berkata dengan sebuah senyuman yang merekah. Kemudian kakek meminta diri dari pemuda tersebut, dan mulai berjalan meninggalkan rumah itu, namun sesampainya di halaman, kakek roboh dan jatuh mencium tanah. Tubuhnya lunglai tak berdaya ditanah, sambil mengangkat tangan dan tersenyum kakek membisikkan “terima-kasih Tuhan, terima-kasih, sekarang saya siap, ambillah saya dari kemunafikkan dunia ini” kemudian kakek menutup matanya dan tidak pernah membuka lagi. Sayup-sayup terdengar suara burung pada sore hari mengantarkan kepergian kakek, matahari mulai menampakkan kejenuhannya terhadap dunia seiring dengan perginya kakek. Sore itu terasa damai, sebuah kedamaian yang tidak wajar memancar dari tubuh seorang sadis yang telah menemukan penebusan dunia. Namun kedamaian itu menjadi sebuah hadiah yang diperoleh dengan senyuman ketika kakek dengan bersungguh-sungguh mencari akan apa yang dinamakan Tuhan dan pelarian.