Selasa, 08 September 2009

Senin, 24 Agustus 2009

decreasing or my work performance

i don't know what's been going on with me lately, but reviewing on the works i've done i've been making 3 mistakes.

one fatal mistake that resumed as an embarrasement. i have to improve myself and over this situation, or it might get worst.

Jumat, 07 Agustus 2009

Hilangnya kedigdayaan Pengadilan

Dulu ketika saya masih sebagai seorang mahasiswa Hukum, adalah sebuah keharusan untuk berkunjung ke Pengadilan baik itu Negeri, Tinggi, Agama maupun Tata Usaha Negara. Diharapkan dengan kunjungan para mahasiswa ke perangkat hukum Negara ini, kita jauh mengetahui lebih banyak tentang praktek beracara, baik itu pidana, perdata maupun agama dan tatausaha Negara. Ketika kita masyarakat yang belum menjadi praktisi hukum mendengar tentang kata “pengadilan” dalam hati ada sebuah perasaan segan dan kagum. Bahkan ada juga yang takut hanya dengan mendengar kata Pengadilan. Ini sudah menjadi sebuah Doktrin yang berkembang didalam masyarakat. Bahwa pengadilan itu menakutkan. Ada yang berpendapat, “jangan sampai deh saya itu masuk ke pengadilan, ntar malah diperiksa dan diapa-apain sama perangkat pengadilan disana”.  Pada awalnya saya hanya tersenyum kecut ketika mendengar pernyataan ini. Bukan karena saya tergelitik dan menganggap remeh orang itu, namun saya prihatin. Tidak seharusnyalah masyarakat takut akan pengadilan. Bukankah pengadilan itu hadir untuk melayani masyarakat. Ketika masyarakat merasa hak-hak mereka sebagai warga Negara dilanggar, maka pengadilan adalah sebagai jalan terakhir yang harus ditempuh ketika semua jalan lain sudah tidak mumpuni lagi. Seharusnya masyarakat memandang Pengadilan itu dengan perasaan kagum dan segan. Karena disinilah gedung dimana masyarakat akan disodorkan sebuah pertunjukkan cerdas, dimana para praktisi hukum berkumpul dan beradu argumentasi intelektual sehingga menimbulkan suatu demokratisasi. Dan disinilah masyarakat bisa melihat ketika hak-hak mereka diperjuangkan oleh para praktisi hukum ketika mereka sudah tidak mempunyai jalan lagi ketika hak mereka dilanggar.

            Oleh karena itu, ketika saya menginjak semester V dan sebagai mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Praktek Peradilan Pidana, dimana diharuskan melakukan kunjungan ke pengadilan negeri. Saya merasa senang. Wah akhirnya saya bisa melihat kemegahan gedung pengadilan lengkap dengan perangkatnya. Akhirnya saya bisa melihat bagaimanakah teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan itu diimplimentasikan kedalam kehidupan peradilan. Saya bangga menjadi mahasiswa Hukum. Karena disinilah titik dimana saya akan memandang hukum dari mata yang sebenarnya. Bukan hanya buku-buku tebal para filsuf hukum yang menerbitkan pemikiran-pemikiran hebat. Tapi dari sinilah saya, kalau beruntung bisa melihat yurisprudensi dalam pembuatannya. Ketika tiba saatnya untuk melakukan kunjungan, kami para mahasiswa berkumpul dikampus dan diberangkatkan dengan bis. Saya melamun dan berkhayal tentang diri saya dibalut dengan jubah kebesaran pengacara lengkap dengan dasi putih yang bergantung. Sambil membawa buku-buku hukum melangkah masuk kedalam gedung, betapa bangganya saya didalam khayalan tersebut, betapa senangnya saya mengetahui bahwa hal itu akan segera terjadi dalam 2 tahun mendatang. Maka dari itu ketika bis berhenti tepat didepan pintu gerbang pengadilan, saya tersenyum.

Senyuman saya tidak bertahan lama, ketika saya masuk kedalam ruang lingkup pengadilan. Tepatnya dihalaman parkir. Terdapat suara-suara yang menyerukan kalimat-kalimat membingungkan “mas mau ngambil tilangan ya? Biar saya yang ambilkan mas, murah kok”. “Bapak sudah punya pengacara? Biar saya yang mengurus kasusnya”. Ternyata dihalaman parkir ramai terdapat berbagai macam orang yang tidak rapi sama sekali. Halaman parkir dipengadilan terkesan kotor, sampah dan puntung rokok dimana-mana. Lebih anehnya lagi banyak sekali calo-calo yang menawarkan jasa untuk menebus surat tilang seperti yang diatas. Belum lagi pengacara-pengacara yang menawarkan jasanya tepat disitu, menjadi satu dengan para calo. Seketika itu juga, semua eksistensi tentang pengadilan yang berwibawa terhapus dari dalam pikiran saya. Pengadilan Negeri berubah menjadi pasar tradisional, dimana terdapat penjual-penjual yang menawarkan jasa mereka secara serampangan terhadap siapapun yang melangkah di area tersebut. Memalukan memang, sebuah gedung yang seharusnya menjadi nadi dari kehidupan keadilan di Indonesia berubah menjadi area perdagangan.  Kemudian saya berpikir, ya sudahlah, biarkan saja. Mungkin ini memang sudah menjadi bagian dari kehidupan halaman parkir pengadilan. Tidak ada salahnya mereka menawarkan jasa kepada masyarakat untuk menebus surat tilang, tokh masyarakatnya sendiri malas untuk melalui segala birokasi untuk menebus surat tilang mereka. Padahal birokrasi yang harus dilewati untuk menebus suatu surat tilang sangatlah tidak sulit. Kita hanya perlu datang ke ruang sidang. Menunjukkan surat tilang, kemudian membayar denda, selesai. STNK maupun SIM sudah bisa diambil. Proses ini tidak memakan waktu lama, maksimal setengah jam. Atau biarlah pengacara-pengacara tersebut menawarkan jasa mereka dihalaman parkir Pengadilan, tokh mereka tidak sampai menjadi calo tilang. Pemikiran seperti ini bisa sedikit menghibur kekecewaan saya.

Kebetulan agenda sidang yang akan kita observasi hari itu adalah sidang TIPIRING ( Tindak Pidana Ringan). Yang menjadi objek dari sidang itu adalah para Pekerja Seks Komersil dan para transeksual yang menjual diri mereka yang kebetluan tertangkap dalam sebuah operasi. Ketika seorang transeksual ditanya oleh hakim “sehari kamu bisa melayani berapa orang?”  ia menjawab “ya kalau sedang ramai sih saya bisa sampai 5 atau 6 orang”. “melayani segitu banyak orang opo cangkemmu gak lower? (apa mulutmu tidak rusak)” hakim menjawab dengan bahasa jawa ngoko. Bahasa jawa ngoko adalah bahasa jawa kasar yang hanya dipergunakan dalam keseharian ketika kita berbicara antar teman. Kontan hadirin sidang menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Mereka menganggap hakim ini lucu dan punya selera humor yang tinggi. namun sesuatu yang lucu itu telah merendahkan harkat dan martabat dari seorang terdakwa. Biarpun ia hanyalah seorang transeksual yang menjajakan dirinya. Ia tetap adalah seorang warga Negara yang berhak mendapatkan perlakuan setara dengan warga Negara lain. Bukan dengan cara dihina didepan umum. Sebagai seorang hakim, seharusnya ia mengerti bahwa ia sudah melakukan tindakan penghinaan yang dapat mencemari nama baik seseorang, meskipun ia hanya seorang transeksual. Dan kembali kewibawaan dari pengadilan dihancurkan oleh tindakan yang memalukan yang kali ini dilakukan sendiri oleh seorang petinggi pengadilan itu sendiri, seorang hakim. Pemikiran dimana pengadilan adalah tempat para intelektual berkumpul dan melakukan adu argumentasi yang melahirkan demokrasi pun sontak luluh lantak dalam kejapan mata. Pengadilan menjadi sebuah tempat sirkus, dimana masyarakat bisa mendapat sebuah pertunjukkan yang menghibur dan terkesan lucu atas komentar-komentar yang sama sekali tidak intelek dari para hakim. Bagaimana masyarakat bisa menghormati aparatur Negara, kalau justru perangkatnya  tidak pernah menghargai rumah mereka sendiri.

TIKUS TIKUS DEMOKRASI

Hari itu, dikala senja tahun 98
Ibu pertiwi menangis, ibu pertiwi tersenyum, ibu pertiwi tertawa.
Hari itu, pertengahan 98
Manusia bergelora, manusia bersambut gelak tawa
Hari itu, pertengahan 98
Kami menangis, kami tertawa, kami puas
Hari itu, pertengahan 98
Mereka tersenyum, mereka tertawa, mereka termenung
Hari itu, pertengahan 98
KITA MEMEKIKKAN KEMENANGAN!!!

Hari ini, pertengahan 09
Kami menangis, kami miris, kami kecewa
Hari ini, pertengahan 09
Ibu pertiwi menangis darah, darah kekecewaan
Hari ini, pertengahan 09
Tanah air terkoyak, sobek oleh kerakusan
Hari ini, pertengahan 09
Sia –sia, kosong, habis termakan
Hari ini, pertengahan 09
Tikus-tikus reformasi bergelora, bersemangat, bergembira
Hari ini, pertengahan 09
KAMI KECEWA, KAMI MENANGIS, KAMI TERSEDU, KAMI DISOBEK-SOBEK!
KAMI TERTIPU, KAMI TERTUNGGANGI.
Hari ini, pertengahan 09
PERJUANGAN TELAH USAI, KAMI TELAH MATI
DEMOKRASI MENGAJAL
TIKUS-TIKUS DEMOKRASI MEMBUNUH KAMI.

Sabtu, 01 Agustus 2009

goodbye Corry

pagi ini, seperti kebiasaan sehari hari saya, buka mata langsung baca koran. betapa kaget dan terhentak akan sebuah berita "Corry Aquino meninggal dunia".

betapa dunia berduka atas hilangnya sosok yang sangat demokratis, menggulingkan sebuah rezim dikatator dengan menggunakan kekuatan rakyat, "the people power" benar-benar tujuan politik dasar dari gerakan corry adalah Rakyat! bukan kepentingan pribadi yang mengatasnamakan rakyat. memori saya terbawa kembali ketika saya masih SMP (kalau tidak salah), ratusan ribu rakyat pendukung corry rela berkumpul dan menghalangi tank dan kekuatan militer yang kala itu masih dimiliki diktator Filipin Ferdinand Marcos. betapa dahsyat kekuatan wanita ini, sosok perempuan kecil berkacamata mampu melawan rezim yang begitu hebatnya, begitu diktatorialnya dan menggulingkannya dengan kekuatan rakyat. gerakan ini sekaligus menghantarkan Corry menjadi Presiden Filipina yang kesebelas. namun dengan peninggalan warisan pemerintahan yang begitu korup dari Ferdinand Marcos tidak serta merta membuat Corry mencicipi nikmatnya duniawi kekuasaan, dia tetap pada jalurnya, berjuang demi rakyat, memberrantas korupsi, hal inilah yang tidak pernah saya temukan didalam pemerintahan manapun juga. kapan Indonesia bisa mempunyai Sosok Pemimpin bersahaja seperti Corry Aquino.

bagaimanapun juga, selamat jalan Corry, Engkau adalah Sejarah Dunia yang tidak akan bisa terkikis oleh waktu. Rest In Peace. 

Rabu, 29 Juli 2009

Nista Manusia terhadap Tuhannya


 

Seorang anak kecil berkulit putih bersih berdiri meratapi seonggok daging manusia yang terbakar, hangus legam tanpa menampakkan identitas, namun hal itu tidak membuat si anak menjadi takut, tetapi ia terus menatap dengan mata yang tidak basah namun haru. Kemudian ia mulai beranjak pergi dari onggokan mayat yang tidak mempunyai arti itu lagi, ia menapaki sebuah jalan berdebu dan rusak, sebuah jalan yang dahulu merupakan sayatan nadi kehidupan bagi umat perkotaan, dimana segala interaksi sosial bertemu dan bercampur baru dalam keringat hedonisme, namun jalan itu kembali menampakkan wajahnya yang sesungguhnya, sebuah wajah yang tak berarti tanpa nama, sebuah tembang kenangan yang “pernah hebat” namun sekarang tidak membunyikan pekikan yang mengalunkan keharmonisan hiruk kota. Si anak berjalan menyusuri jalan yang dihiasi oleh puing-puing bekas bangunan yang sudah pernah menghiasi jalanan ini, sebuah imajinasi menggelayut didalam pikirannya, ia membayangkan betapa megahnya jalan ini kala manusia bersatu padu dalam sebuah ritme kehidupan metropolis yang serba cepat, dimana kehidupan berjalan selama 24 jam dengan gemerlapnya lampu-lampu kota yang mengisyaratkan hedonisme dan asimilasi manusia dengan tuhannya sendiri. Kini yang tersisa hanyalah bekas-bekas kehebatan manusia, puing-puing hasil pemikiran modern yang pernah menjamah sisi kehidupan manusia yang haus akan sebuah kesempurnaan. Semua itu telah hilang, ditelan murka keserakahan dan fanatisme manusia. Anak itu kemudian mengeluarkan sebuah buku sketsa yang biasa ia pakai untuk menorehkan segala sesuatu yang dilihatnya kedalam garisan-garisan dan alur-alur cantik hitam-putih, ia merogoh kantongnya untuk mengambil sebatang pensil pendek yang kelihatannya mulai haus karena frekuensi pemakaian, dalam buku polos tanpa garis itu ia menulis “Jakarta 1 juli 2010” kemudian ia mulai menghiasi lembaran itu dengan garisan-garisan halus yang pada  akhirnya menghasilkan sebuah sketsa indah yang penuh dengan sarkasme akan situasi nyata yang sedang stagnan didepan matanya.

            Selama dua jam Kevin (nama anak itu) duduk membisu di trotoar jalan kota yang sudah mati itu, ia duduk terdiam sambil memandangi hasil sketsa yang baru saja dirampungkannya, dalam pikiran kevin sketsa ini merupakan sketsa terbaiknya, karena sebuah situasi nyata yang tidak mengumbarkan keindahan namun sebuah gambaran perilaku manusia yang sedang membunuh Tuhan secara perlahan-lahan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Kemudian ia membalik lembaran dalam buku sketsanya dan melihat halaman sebelumnya, sebuah gambaran hidup yang melukiskan suasana mencekam dan ngeri “Jakarta 29 juni 2010” manusia berlarian pontang-panting, saling membakar, saling membunuh dan saling menyakiti, masyarakat kota sedang dirobek oleh sebuah kenyataan pahit, sebuah kenyataan kekerasan yang sedang diperjuangkan, entah apa yang sedang mereka perjuangkan, yang pasti semua ini bukanlah ilusi yang bisa terlihat dari film ataupun permainan-permainan sadis yang sedang bertebaran dan meracuni pikiran manusia. tubuh manusia dicabik-cabik oleh kebencian yang dahsyat sebegitu rupanya sehingga hati nurani manusia tertutup oleh insting untuk membunuh dan mengancurkan, wajah-wajah garang terlihat dalam gambaran ini, wajah haus darah yang sedang memuaskan nafsunya untuk menghancurkan seperti sebuah keinginan yang sudah tidak tertahankan lagi, sebuah Ngidam. Terlihat dalam gambar seorang ibu dengan golok dilehernya sedang menangisi anaknya yang sudah mendahului dirinya untuk bertemu dengan sang Pencipta, lukisan itu tidak berwarna namun torehan arang pensil mengisyaratkan bahwa kota itu sedang banjir darah, yang tumpah sebagai upacara kurban tanpa isyarat akan Tuhan. Kevin kemudian tersenyum ketika ia melihat gambar ini lagi, setelah mengernyitkan dahinya ia pun tertawa terbahak-bahak, tawanya itu berupa tawa sarkas terhadap kebodohan manusia yang mempunyai andil dalam peristiwa ini, dalam hati ia berpikir betapa dungu dan bodohnya orang-orang ini, mengapa sesuatu yang begitu megah dan indah harus mereka hancurkan demi memuaskan nafsu yang dituruti untuk sesuatu yang belum tentu benar pemahamannya, “sungguh-sungguh dangkal filosofis hidup manusia-manusia ini” dia berkata didalam hatinya. Memang situasi yang mengerikan ini terpicu oleh sesuatu yang belum jelas kebenarannya, manusia terpacu untuk mengejar sesuatu yang diterima mentah-mentah, kedangkalan manusia ini dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memuaskan ego mereka demi memenuhi suatu tujuan akhir yang gemilang namun kotor, sungguh hebat dan brilian cara mereka berpikir dan bertindak.

            Kevin, seorang anak berumur 13 tahun melihat semua ini dalam perspektifnya sendiri, pemikiran yang jauh melampaui filosofis manusia-manusia bodoh yang telah terangsang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak logis, bahwa semuanya itu adalah sesuatu yang harus dicapai oleh mereka demi mendapatkan hidup bahagia adalah pemikiran yang salah, sama sekali salah. Kevin kemudian melangkah pulang kerumahnya, ia telah bosan dan muak melihat semua ini, sesuatu dalam perutnya bergejolak menyuruhnya untuk segera meninggalkan tempat yang menyesakkan dada ini, ia malangkah dengan cepat setengah berlari, sambil menutup mulutnya ia melewati untaian mayat yang berjejer-jejer tanpa tuan dan pemilik, berserakkan seakan meneriakkan nama mereka agar segera dibersihkan, namun tidak terjadi sesuatu, Kevin adalah satu-satunya makhluk hidup yang bernapas dan bergerak ditempat itu, langkah Kevin mulai terlihat sebagai sebuah larian, ia berlari dengan terburu-buru meninggalkan semuanya itu, kini wajah Kevin menampakkan ekspresi ngeri dan takut, entah apa yang ada didalam pikiran anak ini, namun sengalan napasnya menampakkan sebuah kecemasan yang luar biasa, situasi mencekam dan sunyi ini dipecahkan oleh derap beberapa kaki yang menggemakan tebalnya sol sepatu, “ya Tuhan, bawa aku pergi dari sini, bawa aku pergi dari sini Tuhan, selamatkan aku dari orang-orang ini” Kevin berteriak dalam hatinya. Langkah-langkah tersebut mulai membunyikan ritme yang cepat dan marah, Kevin masih terus berlari melewati sebuah bangunan tua yang selamat dari amukan massa, sebuah suara didalam hatinya menggerakkan Kevin untuk segera masuk kedalam rumah tersebut dan bersembunyi. Kevin membelokkan badannya dan memasuki pintu dari rumah tersebut, didalam terlihat jelas suasana kuno dan sederhana. Namun gambaran rumah seperti ini memberikan sebuah ketenangan dalam hati Kevin, ia melihat sebuah lemari kuno didalam rumah tersebut, ia mulai membuka lemari itu dan masuk kedalamnya dan bersembunyi, Kevin jongkok melipat kakinya agar bisa tetap muat dalam lemari yang sekarang terasa kecil untuk ukuran tubuhnya. Ia jongkok dan menunggu akan datangnya aman bagi dirinya, sementara itu diluar, terlihat 3 orang laki-laki berusia 30an sedang memegang golok, terlihat kebingungan dan marah, mereka menyusuri jalan yang tadi telah dilewati Kevin, amarah dalam semburan napas mereka terdengar dengan jelas, perasaan dongkol dan penasaran menyelubungi kepala mereka, kehausan mereka akan darah terlihat jelas dari mata-mata gelap yang memancarkan kebencian, langkah mereka terhenti ketika mereka melihat rumah tua yang telah dimasuki oleh Kevin tadi, dua dari tiga orang itu memasuki rumah tersebut dengan kasar, sedangkan yang satunya tetap berdiri dan menunggu diluar untuk berjaga-jaga seandainya terlihat sebuah napas kehidupan. Kedua orang itu menggebrak pintu itu sehingga engselnya patah dan pintu kayu yang telah berumur sejarah itu luluh lantak dalam sekejap.

            Mereka mencari kedalam setiap sudut-sudut ruangan dengan seksama, diiringi kilatan lampu senter karena matahari telah menampakkan kejenuhannya terhadap dunia, mereka mengobrak-abrik tempat itu sehingga keindahannya tidak lagi terlihat, mata seorang dari para lelaki tersebut tertuju pada sebuah lemari tua yang kecil, ia melangkah dengan memicitkan matanya seakan-akan lemari tersebut tidak dapat dilihatnya dengan jelas, ia membisikkan sesuatu kepada rekannya dan menunjuk ke lemari yang berada didepannya itu, kemudian lelaki itu mulai meraih engsel pintu lemari dan memutarnya, lemari itu terkunci dan tidak mau membukakan pintunya, dengan perasaan emosi lelaki itu mulai menendang-nendang lemari agar bisa menghancurkan pintunya. Kevin jongkok terpaku, matanya kosong menatap ke pintu lemari yang sedang ditendang-tendang, tubuh mungilnya bergetar karena takut dan cemas, namun suara dalam hatinya berkata agar Kevin tenang, suara tersebut mempunyai sebuah getaran yang mempunyai suatu aura untuk membuat orang menaatinya, Kevin berangsur-angsur pulih dari ketegangannya, namun tendangan di pintu membuat hati Kevin kembali berlomba-lomba mengejar perasaaan tenang yang sudah berlari jauh menninggalkan tempatnya. BRAK!! Pintu lemari itu hancur berkeping-keping. Terlihat seorang anak kecil yang menanjak remaja duduk jongkok, ketakutan akan masa depannya, segala yang pernah terjadi tiba-tiba melintas begitu saja dihadapan Kevin, ”apa yang pernah terjadi dalam hidupku? Aku masih terlalu muda untuk mati, aku belum melihat dunia. Tuhan! Saya berseru kepadaMu, jika Engkau mau rengkuhlah aku dari tangan-tangan manusia biadab ini” Kevin berteriak dalam hatinya.

            Kedua tangan besar dan kotor menarik Kevin dari lemari tersebut. Ia diangkat layaknya seekor binatang yang dapat menjangkitinya dengan penyakit ganas. Kemudian lelaki tersebut berseru kepada temannya “lihat apa yang kutemukan! Seekor anak yang mencoba bersembunyi dari kita. Hai engkau bocah, apa kau pikir engkau sudah sangat hebat?” lelaki tersebut tertawa terbahak-bahak, sebuah ekspresi kepuasan muncul dari raut wajahnya yang sumringah seperti orang bodoh. Kemudian teman dari lelaki tersebut datang menghampiri dirinya, mereka berdua berdiri, melihat dengan pandangan nafsu kearah Kevin. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, namun ekspresi wajah mereka menunjukkan terror yang berlebihan.

            Nyali Kevin menciut, air matanya mengalir dalam sebuah alunan kesedihan bercampur takut yang luar biasa. Kevin kemudian dibawa oleh kedua orang itu keluar dari bangunan tersebut. mereka meghampiri teman mereka yang sedang berjaga didepan pintu “ wah wah wah, apa yang engkau temukan ini? Ternyata memang benar kita masih menyisakan satu orang lagi” ujar orang tersebut. mereka bertiga kemudian melangkah pergi dengan membawa Kevin. Setiap detak langkah yang berderap mengiringi jantung Kevin yang berdegup kencang mengikuti irama langkah mereka. Ia menutup mata selama perjalanan, ia terus berdoa dan berdoa, memohon agar Tuhan tidak mengambilnya dengan cara seperti ini, sungguh-sungguh Kevin tidak berani menatap masa depan yang sedang manantinya. Akhirnya Kevin tertunduk pasrah, tidak merasakan apa-apa, stagnan tidak berbuat apa-apa.

            Orang-orang telah berkumpul menanti kedatangan dari prajurit-prajurit yang menamakan diri mereka, Utusan Tuhan, semua yang hadir disitu bersorak-sorai kegirangan menyambut ketiga orang tersebut dan Kevin. Kemudian muncul seorang perempuan dengan badan tinggi semampai, wajahnya cantik dan keras, kulitnya putih bersih, sungguh perempuan ini adalah sosok seorang perempuan yang cantik. Orang-orang tunduk akan kehadirannya, mereka menyebutnya “Sang”, yang artinya ia yang diagungkan. Sang berjalan menuju kerumunan yang terdiam sunyi, tidak ada sehelai benangpun yang melilit ditubuh perempuan ini, ia telanjang, benar-benar telanjang. Ia mengangkat tangannya dan semua orang yang hadir disitu mulai membuka baju mereka, kecuali Kevin. Kini sebuah pemandangan polos sedang berada dihadapan Kevin, ia memicingkan matanya, merasa dirinya belum pantas untuk menyaksikan hal-hal seperti ini. Tiba-tiba seorang perempuan muda dari kerumunan tersebut datang menghampiri Kevin dan mulai menelanjangi dirinya juga. Kini Kevin berdiri, polos tanpa tedeng aling-aling. “kita hanyalah manusia kecil, kita harus polos ketika kita datang dihapan Tuhan” Sang berkata kepada kerumunan tersebut. “dan kini, kita kedatangan seorang tamu, ia adalah sisa dari apa yang kita sebut kurban. Saya sudah mendapat wahyu dari Tuhan, tidak boleh kita sisakan satupun dari manusia-manusia rendahan selain pengikut kita, kita harus membasmi mereka semuanya. Dan hari ini saudara-saudara wahyu yang telah diturunkan kepada saya, akhirnya akan terpenuhi juga” Sang berkata yang diikuti dengan gumaman senang dari orang-orang yang hadir disitu. “dan kita akan menag!” salah seorang dari kerumunan tersebut berujar dengan lantang, yang diikuti dengan tepuk tangan riuh.

            Sang berjalan menuju sebuah mimbar yang sudah disipkan seblumnya oleh para pengikutnya. Ia berdiri layaknya seorang Jendral yang sedang memimpin pasukannya. “tahukah saudara-saudara, bahwa hari ini perjuangan kita terhadap Tuhan akan segera berakhir dengan kemenangan, kita akan diberi hadiah yang besar akan kemenangan ini, kita akan segera berkumpul dengan Tuhan kita yang agung. Kita akan menzolimi semua orang yang tidak mau mengikuti Tuhan. Ia kemudian mulai menyerukan kata-kata dengan bahasa yang sulit dimengerti. Kerumunan orang-orang itu tertunduk seperti sedang berdoa. Terdengar raungan-raungan tangisan yang tersedu-sedu, upacara kurban untuk yang kuasa, bahwa segala sesuatu akan berubah menjadi sesuatu yang baik. Bahwa pemikiran manusia telah menciptakan sebuah Tuhan yang baru. Bahwa segala sesuatu yang ajaib didunia ini telah direspon oleh seorang filsuf yang dangkal, membuat suatu pemikiran yang salah menjadi benar. ketika mereka berpikir mereka sedang menyembah dan mengagungkan Tuhan, justru mereka perlahan-lahan menusukkan sebuah tombak kedalam lambung Tuhan.

            Kevin berkeringat melihat pemandangan ini, sebuah pemandangan yang menyilaukan hati nurani dari seorang anak yang begitu polos. Ia menangis, menangis akan Tuhannya yang sedang dirobek-robek dihadapannya. Ada sebuah suara yang didengar Kevin didalam hatinya, suara itu berujar kepada Kevin untuk tetap tegar dan tidak menangis, sebuah suara yang meyakinkan Kevin bahwa semua akan baik-baik saja. Kevin kemudian mengangkat tangan dan berteriak dihadapan kerumunan tersebut “HAI ENGKAU MANUSIA-MANUSIA BODOH!!!” semua orang terperanjat dan memandang marah kearah Kevin, namun ia tidak peduli, Kevin berdiri bergeming memandang jijik kepada semua orang yang hadir disitu. “apa yang sedang kalian lakukan? Apa yang ada didalam otak kalian? Kalian sedang dibodohi oleh seorang gila hormat yang mengatasnamakan Tuhan. Untuk semua obsesinya untuk mengendalikan manusia. tidakkah kalian bisa melihat apa yang kalian lakukan adalah salah?!” Kevin berkata setengah berteriak kepada oang-orang tersebut. “sungguh-sungguh ketika engkau berpikir engkau sedang berperang untuk Tuhanmu, sebenarnya engkau sedang membunuh Tuhan secara perlahan-lahan. Engkau dengan segala pemikiranmnu tentang sebuah agama yang agung dihadapannya hanyalah sebuah ilusi dan fatamorgana yang diilustrasikan oleh perempuan laknat tersebut. Kalian berpikir telah menemukan oase dipadang gurun ini, namun semuanya hanyalah palsu. Engkau sedang menyembah Tuhanmu yang palsu dan menghancurkan sesuatu yang agung” Kevin mencoba meyakinkan mereka.

            Orang-orang itu bergeming. Kekuatan dalam kata-kata Kevin tidak mampu untuk menyadarkan mereka dari keadaan trans yang dalam. Sebuah keadaan hipnotisme yang diinginkan oleh mereka sendiri. Mereka menjadi sangat marah kepada Kevin yang telah menghina Tuhan yang mereka ciptakan sendiri. Sang kemudian memerintahkan prajuritnya untuk segera mengeksekusi Kevin. Tubuh kecil Kevin menjadi lunglai tak berdaya ketika dua orang berbadan besar mengangkat Kevin dan mulai mengikat Kevin pada sebuah tiang yang diatur diatas tumpukan kayu. Kini Kevin terpaku seperti patung totem yang diukir oleh orang-orang Indian dalam upacara kurban. Air matanya terus mengalir melihat kebejatan kerumunan ini.

            Salah seorang dari kedua orang yang tadi mengangkat tubuh Kevin mengambil sebuah tombak berkilat yang sekiranya akan dicucukkan ketubuh kecil dari anak yang tidak berdosa ini. Kevin menutup matanya dan berdoa, “biarlah Tuhan, jika ini memang apa yang Engkau inginkan, maka terjadilah” Kevin berujar didalam hatinya. Kemudian lelaki tersebut menusukkan tombak itu ke dada kiri Kevin, ia berteriak kesakitan. Namun teriakan itu hanya berlangsung sebentar. Orang-orang terperanjat kaget melihat apa yang sedang terjadi dihadapan mereka. Kevin memicingkan matanya, melihat apa yang sedang terjadi, karena ia tidak merasakan apa-apa selain kaget. Tombak yang tadi dipakai untuk menusuk tubuhnya kini tergeletak ditanah, patah menjadi dua. Sang eksekutor tertunduk, tidak percaya akan apa yang sedang dilihatnya. Ia kemudian mengambil sebilah pedang yang disodorkan oleh Sang, karena eksekusi pertama tidak berhasil. Pedang itu kemudian ditebaskannya kearah leher Kevin. Namun besi tipis itu hanya bisa bergetar ketika menyentuh lehernya.

            Kevin merasa kuat, ia menegakkan kepalanya, tersenyum kepada mereka. Namun orang-orang itu masih tidak mau mempercayai apa yang mereka lihat. Sang eksekutor kemudian mengambil obor dan menyulut kayu-kayu kering yang berada dibawah Kevin. Api berkibar dengan murka, tubuhnya menghilang tidak terlihat. Hanya jilatan-jilatan api yang terlihat sedang mengasah dan memanggang apapun yang berada diatasnya. Kerumunan itu kembali beruara dengan riuh, senang karena merasa kali ini tidak meungkin Kevin akan selamat. Tiga puluh menit keadaan mengerikan ini berlangsung. Ketika api yang mebakar kayu-kayu itu mulai padam, terperanjatlah kerumunan tersebut, karena tubuh anak kecil yang sedang dipanggang itu masih berdiri dengan bersihnya. Namun kali ini tubuh Kevin tidak lagi terikat pada tiang kayu, karena tiang kayu tersebut sudah habis terbakar. “Lihat apa yang sedang terjadi? Sadarkah kalian bahwa Tuhan berada dibelakangku dan melawan kalian semua?” Kevin berteriak kepada mereka. Kemudian terdengar suara gemuruh dan langit berubah menjadi gelap. Kevin kemudian melangkah, mengambil bajunya dan memakainya kembali. Ia kemudian berjalan pergi meninggalkan manusia-manusia dungu tersebut.

            Jakarta 2 juli 2010” Kevin menorehkan tulisan itu didalam buku sketsanya ketika ia kembali ketempat terkutuk itu pada keesokan harinya. Kemudian ia mulai menorehkan arang pensilnya kembali untuk menggambarkan apa yang sedang stagnan dihadapannya. “orang-orang berdiri telanjang dengan ekspresi menganga. Ketakutan akan apa yang sedang menimpa mereka. Asap dimana-mana, manusia-manusia tersebut terbakar namun tidak hangus. Tubuh mereka utuh didalam posisi yang sempurna. Namun nyawa mereka tidak berada ditempatnya lagi. Seorang wanita cantik berdiri mengangkat tangannya, ia kaku bagai sebuah patugn yang diukir oleh seorang seniman. Terdapat puluhan ular merayap ditubunya.” Setelah selesai membuat sketsa tersebut Kevin tersenyum. Senyumannya kini bukan lagi berupa sebuah senyum sarkas, namun sebuah senyum gembira terukir dimulut Kevin. “Manusia selalu mencari cara untuk membunuh Tuhannya sendiri. Membuat pemikiran-pemikiran dangkal terhadap apa yang mereka percayai. Membuat segala sesuatu yang indah menjadi tidak berarti lagi. Kapankah manusia bisa belajar untuk lebih mencintai dan mengormati apa yang sudah diciptakan? Kenapa mereka harus membuat segala sesuatu yang begitu gampang menjadi sulit dimengerti? Tuhan sudah memberikan segala jalan kepada manusia untuk berbuat apa yang diinginkanNya.” Kevin berkata kepada dirinya sendiri. “pekerjaan saya disini sudah selesai, saya sudah mencoba untuk memperingatkan mereka akan kemurkaanMu ya Tuhan. Kemudian ia menutup buku sketsanya. Menggeletakkannya ditanah dan mulai malangkah pergi. Dari kejauhan terlihat sayap kecil putih muncul dari punggung Kevin. Bajunya sobek dan ia tidak mengenakan sesuatu apapun. Sayap tersebut kemudian mengembang membesar. Sebuah cahaya menyinarinya dan ia terangkat naik keatas awan.

Undang-Undang Pornografi - sebuah tindakan pembunuhan seni.


Mungkin tulisan ini udah agak tidak relevan untuk sekarang, karena tokh ini sudah diundangkan, dan sepertinya juga sudah tidak terdengar suara protes dimana-mana. tapi tokh yang harus diingat, Undang-Undang Anti Pornografi pernah ditentang dengan sangat keras oleg berbagai media.

setahun belakangan ini santer terdengar di berbagai media ulasan tentang RUU anti pornografi dan pornoaksi yang masih digodok oleh DPR, bahkan kini udah disahkan menjadi Undang-Undang Anti Pornografi. opini masyarakat dibelah menjadi dua oleh undang-undang ini, pro dan kontra menjadi sebuah sajian istimewa dalam topik pembicaraan dan ulasan opini di berbagai media massa. Ketika kita melihat esensi dari porno itu sendiri kita terbentur oleh estetika seni, apa yang menjadi porno ketika sebuah karya seni berbicara? kalangan seniman manjadi berang dan takut dengan RUU ini, akankah rancangan ini melimitasi ruang dan gerak dari seniman dalam berkreatifitas? Apakah segala aspek yang diperlukan untuk menggali kretifitas seni akan ditinggalkan dengan alasan norma yang dipaksakan?

 

Sebuah gambaran wanita atau pria telanjang dilihat dari dua muka, bagi kalangan yang mengerti seni sebuah ketelanjangan adalah gambaran keindahan manusia yang secitra dengan apa yang hakiki sebagai ciptaan Tuhan, manusia dilahirkan dengan keadaan telanjang sehingga keindahan manusia itu sendiri harus dilihat dalam ketelanjangan, sedangkan bagi kalangan yang tidak mengerti esensi dari keindahan seni, menganggap sebuah gambaran manusia telanjang adalah sebagai sesuatu yang bisa membangkitkan gairah, sehingga dia dapat bermain bebas dalam imajinasinya yang liar dan nakal. Penilaian terhadap gambaran inipun terbagi menjadi dua, menyukai dan membenci atas nama moral dan agama.

Perbincangan mengenai karya seni yang pornopun harus dilihat jauh kebelakang. Jika karya-karya yang mengumbar ketelanjangan manusia itu ingin dilihat sebagai karya seni, maka ruang apa yang harus dipakai? Apa batasan-batasan yang dapat dipakai sehingga karya seni itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat porno? Ataukah tergantung dari manusia yang melihatnya itu sendiri, adalah betul jika dikatakan bahwa porno adalah sebuah konsep yang dibentuk oleh pikiran manusia itu sendiri, bahwa sesuatu yang bersifat seni menjadi porno ketika manusia itu sendiri yang melihat sesuatu sebagai porno, namun jelas ada beberapa hal yang memang disengajakan sebagai sesuatu yang bersifat porno, seperti foto-foto dalam beberapa tabloid yang jelas-jelas mengumbar syahwat yang tidak mempunyai rasa seni, hal ini memang tidak disengajakan sebagai sebuah karya seni namun bertujuan sebagai gambar yang menjejaskan tubuh manusia sebagai objek kebejatan moral.

Ketika kemudian sebuah tarian menjadi cemoohan orang-orang yang mengatasnamakan moral bangsa manjadi sebuah topik hangat, masyarakatpun mulai berbicara mengenai seni, apakah sedemikian moral bangsa harus dianalogikan sehingga kreatifitas dari seorang seniman dikucilkan?  Ketika manusia melihat sebuah karya seni, imajinasi yang dipakai adalah imajinasi kontesktual yang mengedepankan logika dan emosi, sehingga karya kreatifitas yang bernilai senipun dilihat dengan kacamata kuda yang lurus dalam area hitam dan putih, sedangkan seni itu sendiri tidak bisa diartikan dalam dua area yang paten, ada sebuah area yang dinamakan area abu-abu dalam setiap aspek kehidupan manusia yang dimana dalam area inilah manusia dapat bermain dengan imanjinasi seninya, kemudian gambaran sebuah ketelanjangan menjadi indah dan tidak porno, dan juga tarian dangdut menjadi sebuah seni dan kreatifitas yang eksotis dan perlu dilestarikan sebagai budaya bangsa yang membanggakan, bukan dimatikan, ataupun juga goyangan ini dilihat sebagai stimulant untuk ikut bergoyang bukan sebagai stimulant yang mengumbar seks semata-mata. Oleh karena itu marilah kita sama-sama acungkan jempol kepada seniman yang dengan lantang menyuarakan ide mereka dalam ruang apapun dan dalam bentuk apapun sebagai bentuk demokrasi pikiran.

Sabtu, 25 Juli 2009

Masyarakat vs Pengembang

hari ini sepertinya akan ada gerakan dari masyarakat yang merasa mendapat ketidak adilan baik itu dari pemerintah maupun pihak pengusaha (pengembang), kasus ini adalah salah satu contoh kasus struktural yang kami tangani selama ini.

sebenarnya masalah yang dialami sangat simpel, seharusnya sebagai pihak pengusaha, didalam membuka lahan, masyarakat sekitarnya haruslah mendaatkan kompensasi dalam bentuk apapun juga, entah itu pembangunan tempat ibadah, saluran air, pos, jalan atau apalah. Tetapi justru kebalikan yang terjadi, kali ini pengembang malah tidak memberikan suatu kontribusi kepada masyarakat yang sudah memukimi desa tersebut selama puluhan tahun, malah sebaliknya Fasilitas Umum yang dibangun oleh masyarakat desa sendiri dipakai oleh pihak pengembang, contohnya jalan desa dipakai sebagai tempat lalu-lalang mobil dan truk-truk proyek sehingga menimbulkan kerusakan yang notabene merugikan masyarakat desa itu sendiri.

bagaimana mungkin masyarakat desa bisa menerima hal ini dan berdiam diri? protes demi protes, keberatan demi keberaatan telah diumumkan dan diberikan kepada pihak pengembang, namun "rawe-rawe rantas, malang-malang putung". peduli setan dengan masyarakat, yang penting pengusaha untung. dan lebih konyolnya lagi, segala ijin yang diperlukan untuk pembangunan properti telah dikantongi oleh pengembang tersebut. Bagaimana ini mungkin? padahal proses mendapatkan ijin tersebut haruslah mendapatkan persetujuan dari masyarakat sekitar. contoh: untuk bisa mendapatkan ijin mendirikan bangunan (IMB) seseorang haruslah mendapatkan persetujuan dari tetangga kiri, kanan, depan, belakang, ketua RT, RW dan kelurahan. bagaimana si pengembang bisa mengantongi IMB sedangkan masyarakat sekitar tidak ada yang menandatangani ijin tidak keberatan tersebut? kemudian hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, ada apa sebenarnya dibalik ini semua? apa ini surat sulapan? sampai kapankah fenomena seperti ini akan terus terjadi di era yang katanya reformasi? sampai kapankah pemerintah hanya diam melihat rakyat ditindas dan berteriak tanpa ada jawaban?

jika hari ini kami tidak berteriak meminta keadilan, maka besok dan besok akan kami teriakkan agar dijunjung tingginya keadilan, sampai bumi tidak berpijak, langit tidak berawan, kami dan masyarakat tidak akan bungkam untuk menutupi ketidak adilan...

KAKEK

Seorang kakek tua berparas legam dan berpenampilan buruk, berlari tersengal-sengal, nafasnya membiru dalam kedinginan malam, kakinya menjejakkan tanah yang berlumpur mengakibatkan terciptanya blontengan-blontengan noda pada celananya yang sudah keliatan berumur. “aku harus terus berlari, berlari tanpa tujuan, apakah ini tujuan akhir hidupku? Dengan semua kemenangan yang telah kuperoleh pada masa laluku? Apakah aku harus berhenti sampai disini saja?.... aku harus tetap berlari, berlari dan berlari sampai Tuhan mengambil kaki dari tubuhku hingga aku tidak sanggup berlari”  dia berlari melewati gedung gedung tua dijalanan sempit. Gedung-gedung itu seakan tersenyum kepada kakek dan berkata “teruslah berlari teman, teruskan perjuanganmu, jangan berhenti, lihat apa yang terjadi pada kami generasi tua yang tidak pernah mau berlari, lihatlah dan camkan ini dalam otakmu teman. ENGKAU AKAN DIGANTIKAN, maka itu berlarilah teman dan tinggalkanlah kemunafikan dunia.” “apa yang terjadi pada kalian teman-temanku yang tua?” kakek bertanya kepada gedung-gedung tua tersebut. Kakek terhenti untuk sementara ketika pertanyaan ini hinggap di pikirannya. “bisa engkau lihat teman, kami sudah tua dimakan usia, kami sebenarnya masih sanggup menapakkan kaki di jalan ini, kami masih sanggup menahan alam dan rintihan hujan, namun manusia selalu sentimen terhadap setiap generasi tua, lihatlah gedung-gedung yang baru dibangun di depan sana, setiap hari mereka melihat kami dengan tatapan sinis mencemooh, seakan-akan kami ini hanyalah sampah yang tidak tahu diri, seakan-akan berkata sudah waktunya kami ini disingkirkan dengan bangunan yang lebih muda dan baru. Namun dengarkanlah wahai teman, kami lebih kuat daripada semua bangunan baru yang dibangun dengan cara berpikir modern manusia, kami lebih kokoh dalam menahan godaan alam dari Tuhan. Dinding kami lebih tebal, kami dapat memberikan kesejukan pada siang hari dan kehangatan pada malam hari teman, dengarlah hai teman, setiap hari saya melihat manusia-manusia sombong berpakaian putih dan berdasi mengamati kami, melihat kami dengan tatapan puas dan rakus. Mereka akan menggantikan kami dalam waktu dekat, mereka tidak tahu betapa pentingnya kami dimasa lalu, mereka tidak tahu betapa kami menyimpan sejarah kelam bangsa ini, mereka tidak tahu betapa pentingnya sejarah dalam arti keberadaban hidup manusia, mereka menganggap kami barang kadaluwarsa. Ini omong kosong, aku tidak akan tinggal diam, aku akan bertindak, aku akan melawan, aku akan menunjukkan bagaimanakah cara perjuangan pada dahulu kala itu dilakukan terhadap penjajah. Aku akan melawan, sampai batu terakhir dari fondasiku ini tercabut sampai ke akarnya!!! Gedung itu seakan menjawab pertanyaan yang tadi dipikirkan oleh kakek. Kemudian ia mengamati gedung tersebut dengan seksama, gedung itu sudah keliatan berumur lebih dari 150 tahun, bentuk bangunannya yang imperialis semakin megentalkan umurnya dalam balutan  granit. “ck ck ck rumah yang besar dan kokoh, sayang sekali kalau dirobohkan” pikir kakek itu. Kemudian kakek itu mulai berlari lagi, dari kejauhan terdengar suara sayup sayup “selamat inggal teman, kuiringi perjalananmu dengan perjuanganku disini teman, berjuanglah”. Kakek kemudian berlari lagi, nafasnya tersengal mengalunkan sebuah melodi klasik yang sudah sangat lama tidak didendangkan oleh generasi tua. Cahaya kehidupan yang sudah sangat lama tidak terpancar dari dalam dirinya mulai kembali memancarkan kehangatan yang menjalar keseluruh tubuhnya, namun kemudian meredup lagi seiring dengan pelarian dari kakek itu. Dia melewati anak-anak kampung yang bermain dan berlari-lari dalam suasana kota yang hiruk pikuk. “kakek, kakek, marilah dan ikut bermain dengan kami kakek” “jangan dia sudah tua, biarkan dia berlari dengan kehidupannya sendiri” anak-anak itu berlari-lari dan menyerukan hal yang sama terus menerus. “sudah tua, biarkan berlari, sudah tua, biarkan berlari, sudah tua, biarkan berlari” kalimat-kalimat tersebut terngiang-ngiang didalam telinga kakek itu. “BIARKAN AKU BERLARI DENGAN KEHIDUPANKU SENDIRI!!! Ini hidupku, tidak ada yang dapat menyelamatkanku, ini tanggung jawabku, ini konserku, ini musikku” kakek berteriak dengan segala kekalutan hatinya sendiri.

            Kegelapan malam mulai menampakkan kejenuhannya terhadap bumi, langit pun mulai berubah pucat secara perlahan menggantikan pekat. Kakek masih berlari tersengal-sengal, mengantarkan kedatangan matahari yang mulai menyongsong seakan berkata selamat pagi. “ini bukan selamat pagi bagiku, ini bukan sebuah keselamatan sama sekali buatku, ini bencana, sebuah bencana yang datang secara pasti di akhir hidupku yang tengah berlangsung. Kemudian kakek melewati sebuah taman kosong, dia mulai teringat dengan taman ini, ini adalah taman yang menjadi tempatnya bermain dikala dia masih kecil. “kenapa taman ini berubah menjadi sebuah tempat yang mengerikan seperti ini? Apakah ini benar taman yang dulu itu?” sebuah kesangsian muncul dalam benaknya, keindahan taman yang dulu memancarakan keceriaan bagi anak-anak, kini menjadi sebuah tempat yang menjadi symbol kengerian kota, dimana segala macam kejahatan bertumpah ruah menjadi satu. Segala kegiatan hitam menjadi sebuah pemandangan rutin di tempat itu, kursi-kursi besi dengan kemilau indahnya kini menjadi berkarat dan reot, ayunan dengan ukiran indah kini roboh terbiarkan seperti onggokan besi tua. Sisa-sisa jarum suntik berserakan di tanah, menjadi sebuah pemandangan simbolis akan murkanya dunia narkotika. Kakek mulai mengambil sapu yang terabaikan di pinggiran taman, sapu itu kelihatan masih sangat bagus karena memang tidak pernah dipakai, kakek menghentikan pelariannya sebentar, dan kamudian mulai menyapu taman itu, dia membersihkan dengan seksama, semua jarum suntik dan segala sampah haram diambil dari tanah dan dimasukkan kedalam keranjang bambu yang terletak didekatnya ayunan yang sudah berkarat tersebut. Setelah semuanya bersih, kakek itu mulai berlari lagi, “sebuah pencapaian yang mungkin kelihatan kecil namun cukup bermakna buat dunia, paling tidak sekarang anak-anak dapat bermain di taman tersebut tanpa harus takut menginjak jarum-jarum haram ataupun pecahan botol lagi”piker kakek. Memang benar, setelah apa yang dilakukan kakek, taman itu kini kelihatan bersih, walapun masih kelihatan karat dimana-mana namun sebuah pancaran sinar yang kecil telah meredupkan kegelapan nista dari taman tersebut. “Dunia telah memberikan apa yang manusia inginkan, segala kemudahan dalam pencapaian hidup sempurna bisa terakomodasi oleh alam, oleh teknologi, dan oleh bidang medis, namun mengapa manusia harus mencari kenikmatan sesaat yang menyebabkan semua kemudahan itu hilang dalam hitungan jam? Mengapa manusia harus berhenti mencari kesempurnaan hidup dan melakukan penistaan akan sebuah karma?” pikiran ini kembali bergelanyut dalam pikiran kakek, “bahkan AKU seorang yang nista ingin menggapai apa yang disebut kebahagiaan tanpa syarat, aku ingin merasakan indahnya cinta yang tak mengenal batas, andai saja jalan hidupku tidak seperti ini”.  Sebuah untaian memori mulai memasuki pikirannya, kakek dibawa kembali akan masa-masa mudanya yang penuh dengan segala kebengisan dunia, dimana kakek harus menjalani hidup sebagai seorang pengelana. Ia mengingat kembali akan sebuah cinta yang pernah dirasakan olehnya, sebuah cinta setengah hati yang telah dirasakannya, sebuah pahitnya kemenangan sesaat yang dirasakannya, wanita itu adalah satu-satunya wanita yang sangat dicintai oleh kakek, wanita itu adalah satu-satunya wanita yang bisa menyentuh hati kakek yang sedingin dan sekeras baja, wanita itu adalah wanita yang telah menghancurkan hidup kakek ketika wanita iu mengucapkan selamat tinggal. Segala harapan yang bertumpu pada wanita itu kini ditinggalkan begitu saja, kakek hancur berkeping-keping, setelah sekian lama kakek hanya mempergunakan wanita sebagai pemuas sex, kini ada wanita yang dapat mengubah perspektif kakek dalam melihat hidup. Namun itu semua hancur dalam sesaat, kakek menjadi hanyut dalam kesedihan abadi, sungguh dialah wanita yang sempurna. Segala kekalutan dan kesedihan yang timbul sebagai efek dari kepergian wanita itu ditumpahkan kakek dalam sebuah alunan emosi brutal, yang mengantarkan kakek menjadi seorang centeng, seorang preman yang sadis dan dingin, ketika tidak ada seorangpun yang berani berkata tidak, kakek bisa berteriak dengan lantang akan sebuah kata tidak, bahkan diikuti dengan sebuah tebasan pedang yang mempunyai kilat darah disekujur tubuh. Kakek menjadi seorang yang sangat ditakuti manusia dunia, menjadi seorang sakti tanpa ajian mandraguna, menjadi seorang sadis yang mampu mebunuh demi sepotong roti.

            Kakek masih berlari dan terus berlari ketika kenangan itu hilang dari pikirannya, sebuah pelarian yang kelihatan sia-sia, namun pelarian ini bagi kakek adalah sebuah pelarian penebusan dosa yang harus dilakukan oleh kakek, sebuah pelarian yang harus dilaksanakan agar mencapai sebuah kesempurnaan hidup. Kakek melewati sebuah sekolah dasar, ia dapat melihat bahwa sekolah itu adalah bangunan yang mengumandangkan sebuah nilai prestise pada dinding-dinding sekolahnya, bangunan megah yang memancarkan kesombongan manusia akan harta yang dimiliki oleh mereka, sebuah bangunan yang didirikan atas dasar simbol keduniaan. “sungguh sebuah bangunan yang megah, apalah artinya bangunan yang megah dibandingkan dengan ilmu yang harusnya bisa diserap. Apakah ilmu itu harus dibagikan dengan sebuah gemerlapnya bangunan? Apakah tidak cukup anak manusia belajar didalam sebuah bangunan asri yang sederhana namun sejuk?  Sungguh-sungguh megah dan konyol” kemudian kakek melanjutkan pelariannya, melewati mobil-mobil mewah dan berkilauan, melewati anak-anak bersih yang berjalan menuju istana pendidikan. Hari itu sinar matahari menikam bumi tanpa ampun, teriknya mentari menjadi sebuah kehampaan dalam pelarian kakek, kakinya mulai aus dimakan kelelahan, kakek duduk sebentar di pinggiran jalan sambil merebahkan badannya, kini kakek yang dulunya seorang manusia yang diselimuti aura kewibawaan brutal berubah pemandangannya tak ayal seperti seorang pengemis tua yang tak berdaya dimakan usia dan kemiskinan. Dia kemudian berjalan menuju sebuah kios rokok yang menjual minuman dan makanan ringan, kakek membeli sebotol minuman dingin dan sepotong roti untuk menghilangkan dahaga dan lapar, setelah beristirahat selama 15 menit, kakek mulai melanjutkan perjalanannya kembali menuju penebusan dosa, perjalanan itu panjang dan panas, lelah dan terik membuat kakek tidak sanggup lagi untuk meneriakkan semangat, namun kakek terus berlari, berlari dan berlari. Sebuah bangunan besar dan kumuh dilewatinya, dia berhenti sebentar menatap bangunan yang seolah memanggilnya kembali untuk melihat masa lalunya, dia berhenti sejenak untuk membersihkan pikirannya, kemudian memori itu kembali menghujam pembuluh otaknya, sebuah kenangan suram masa lalu, sebuah bangunan yang telah memagarinya dari kehidupan dunia, sebuah kamar berukuran 3x4 m yang telah mengurungnya dalam kesunyian dan kedamaian semu, sebuah tempat dimana kakek telah menemukan Tuhan.

            Kakek dapat mencium aroma kopi panas yang pagi itu 20 tahun lalu ditenggaknya tanpa sebuah kompensasi pendinginan, aroma kopi yang membuat kakek teringat hari dimana kakek dimasukkan kedalam penjara. Dimana kakek telah melakukan sebuah pembunuhan besar, sebuah pembantaian, sebuah khaos dalam kehidupan fana, sebuah kehendak untuk berkuasa seperti sebuah faham yang dianut oleh kakek dalam penzikirannya terhadap pemikiran nitzsche. Kakek telah membantai sebuah keluarga dalam sebuah kegelapan malam. Dan hari ini kakek akan membayar semua itu dalam ganjaran penjara. Didalam penjara, kakek menemukan sebuah kedamaian terlepas dari semua gempita dunia, dalam penjara kakek menemukan sesuatu yang bernama penebusan, dalam penjara itu pula kakek menemukan Tuhan, sebuah pemikiran yang selama ini dihindari oleh kakek, sebuah kepercayaan yang menurut kakek hanya takhayul, namun kakek tidak menemukan Tuhan dalam agama, bagi kakek, agama itu hanyalah sebuah esensi yang semu, tidak bermakna, agama hanyalah sebuah mediator penghubung antara manusia dan Tuhan, agama adalah hampa tanpa sebuah kesungguhan kepercayaan. Kakek menemukan Tuhan dalam kesendiriannya, kakek mendengar Tuhan berbicara dalam mimpi-mimpinya, kakek menemukan Tuhan dalam pertobatannya, kakek hanyalah seorang pengelana yang telah menemukan Tuhan dalam kesunyian hati. Tuhan adalah sebuah suara yang menyerukan kebahagiaan abadi setelah kematian, Tuhan adalah seorang hakim agung yang akan menimbang segala perbuatan manusia didunia. Tuhan adalah Tuhan, Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat dianalogiskan dalam bahasa manusia. TUHAN. Kakek melewati hari-harinya didalam penjara dengan melakukan meditasi pikiran, ia membaca buku-buku tentang Tuhan, namun tidak satupun buku-buku tersebut yang menyiratkan akan agama, buku-buku itu hanya menyemburkan sebuah esensi moral, yaitu Tuhan, sebuah kekuasaan Ilahi tanapa embel-embel titel, sebuah kekuasaan agung tanpa pengangkatan resmi. Tuhan, sebuah pemikiran yang tidak realistis namun menakutkan, setelah sekian lama hidup tanpa Tuhan, akhirnya kakek menemukan sebuah kedamaian, sebuah cinta dalam Tuhan. Didalam suatu keheningan malam, ketika dingin menginjakkan kakinya dalam ruangan sel yang sempit dan apek, kakek sedang tidur dalam kesunyian, ada sebuah pengumandangan suara, sebuah suara yang berat dan berwibawa mengiang di telinga kakek “dengarlah hai engkau anak manusia, apakah engkau berharap bahwa engkau akan hidup abadi sebagai orang yang ditakuti oleh manusia? Apakah engkau berharap bahwa suatu saat tidak akan ada orang yang menuntut pembalasanmu? Engkau hanyalah seekor kecoak kecil yang dapat kuremukkan dengan satu jariku, sekarang katakan padaku, apa yang engkau harapkan dari kehidupanmu didunia ini?” suara itu berhanti dengan seketika, “ siapa engkau?” kakek bertanya, untuk pertama kali, dalam hidup kakek dia merasa takut akan sesuatu, suara itu mempunyai sebuah nada yang mengancam, suara itu mempunyai sebuah visualisasi terhadap sesuatu yang agung dan mega, suara itu dalam pikiran kakek adalah suara Tuhan, yang tidak pernah dikenalnya. “saya adalah awal, saya adalah akhir, saya adalah saya” sahut suara itu, kemudian suara itupun menghilang dalam keremangan malam. Kakek melewati malam itu dengan berpikir tentang artinya Tuhan, siapa Tuhan? Bagaimana Tuhan? Apa esensi dari Tuhan? Namun sepanjang malam dia tidak dapat menemukan jawabannya, pikirannya dibuat terlena dalam belaian bantal bau yang berlinang dengan kotoran. Kemudian kakek bangun pada pagi hari dengan sebuah pemikiran baru, “Tuhan adalah Tuhan, Tuhan adalah sebuah pemikiran yang diciptakan manusia akan hidup yang lebih baik, Tuhan adalah pengampunan, Tuhan adalah penebusan. Mulai saat itu, kakek mulai membuat rencana tentang penebusan dosanya, ia pun membuat rencana untuk melakukan sebuah pelarian terhadap dosa, sebuah pelarian untuk menghilangkan dosa.

            Kemudian bayangan itu lenyap dari pikirannya, setelah ia melewati gedung penjara tersebut, kakek mulai berlari lagi, kenangan tentang penjara membuat kakek mendapat angin segar dalam tipisnya oksigen yang dihirupnya, membuat kakek kembali bersemangat dan kehilangan rasa capek, pelariannya kini berubah menjasi sebuah obsesi akan hidup sempurna, yang disebut kakek sebagai kehendak untuk berkuasa. Pelarian kakek menjadi sebuah sendi pilu dalam kedamaian hati, sebuah ungkapan kerinduan akan Tuhan dan kedamaian, kemudian kakek melewati sebuah jalan, jalan ini bagi kakek tidak tampak asing “saya tahu jalan ini, saya sepertinya ingat akan jalan ini” pikir kakek. Sebuah memori kembali menampakkan bayangan semu, sebuah visualisasi terhadap apa yang terjadi pada masa lalu. Kesedihan dan ketakutan menyelimuti wajah kakek pada saat ini, bayangan yang selama ini sudah diusahakan untuk dihilangkan dari pikirannya kembali bergelanyut dalam kepala kakek. Pagi itu, tidak seperti pagi-pagi yang lain, aura kegelapan menyelimuti tubuh kakek di pagi hari yang cerah, tidak tampak sebuah cahaya keceriaan dalam senyumannya yang sinis, dingin dan kaku. Sinar kesadisan dipancarkan dari matanya yang cowong dan hitam, sudah tiga hari kakek menelan hal ini seperti sebuah pil pahit yang dihancurkan dan dimasukkan dengan paksa ke dalam mulutnya, sebuah bayangan dendam muncul terus menerus dalam pikiran kakek, sebuah bayangan ketika ia diludahi oleh seorang pria didepan umum secara beruntun merasuki pikirannya, ludahnya itu terasa panas dimuka kakek, hasutan dari pikiran tidak sanggup dihalangi olehnya lagi, ia berjalan dengan tubuh yang merah membara, bumi terbakar oleh pijakan kaki kakek, sampailah ia didepan rumah lelaki itu, sebuah sayatan panjang menguntai pada leher lelaki tersebut, dengan disaksikan oleh istri dari lelaki tersebut, kakek dengan darah dinginnya mengiris dan melukai, tidak sampai disitu saja, sang istri pun ikut menjadi petanggungan jawab dari perbuatan suaminya. Sebuah pemandangan mengerikan yang dipertontonkan menjadi sebuah film horror yang akan terus bercokol dalam pemikiran masyarakat sekitar ketika mereka melihat rumah yang dibanjiri oleh darah, namun kakek tidak membunuh anak dari pasangan tersebut, anak itu dibiarkan hidup dalam kengerian, dibiarkan hidup dalam sebuah harmonisnya murka dan dendam. Ia melihat kakek dengan pandangan benci dan takut, menatapnya kedalam bola mata sampai menusuk kedalam hati yang paling dalam. Kakek pun melenggang pergi dari rumah tersebut dengan gontaian kepuasan akan sebuah ide balas dendam yang sempurna, sebuah kehendak untuk berkuasa. Kakek menitikkan air mata ketika pelarian kakek sampai pada rumah ini 20 tahun kemudian. Bayangan ini membuat kakek takut menghadapi masa depan, namun kakek memberanikan diri “aku harus bisa, inilah ganjaran yang harus aku terima ketika aku melakukan hal tersebut” kakek berkata kepada dirinya sendiri. Langkah kakek gemetar dan pelan, derapannya terasa berat ketika kakek memasuki halaman dari rumah tersebut. Kakek menatap dengan takut kedalam rumah tersebut, kemudian tangannya dengan berat hati menekan tombol bel rumah. Suara dari bel itu terasa panjang dan menakutkan, kemudian terlihat seorang pemuda tinggi keluar dari rumah tersebut, pemuda itu mempunyai karakter keras, namun dari pancaran matanya terdapat sebuah kelembutan yang tidak dapat dinalar. Kakek langsung mengenalinya dari tatapan anak tersebut, tatapan yang sama yang dilihat oleh kakek 20 tahun yang lalu. “ada yang bisa saya Bantu pak?” pemuda itu bertanya kepada kakek, kakek tidak langsung menjawab, namun hanya terdiam dan menunduk dengan rasa bersalah yang tidak dapat dinanya. “bapak tidak apa-apa?” pemuda itu kembali bertanya kepada kakek, seketika itu kakek jatuh dengan kedua lututnya menghantam tanah dengan keras, tangannya bergetar menghaturkan sebuah sembah dihadapan pemuda itu. Pemuda tersebut terheran-heran melihat hal ini, namun bayangan kejadian 20 tahun yang lalu langsung menerkam hati nuraninya, dia teringat akan muka sadis yang menggontai dengan santai pada 20 tahun yang lalu. “apakah bapak adalah orang yang telah membunuh kedua orang-tua saya?”  pemuda itu bertanya kepada kakek, kakek hanya mengangguk tanpa mengeluarkan satu katapun, pancaran kemarahan dan kekecewaan kembali muncul dari dalam mata pemuda tersebut, namun pancaran tersebut meredup dengan perlahan, pancaran itu berganti dengan sebuah senyum ramah yang menyambut tangan dari pemuda itu untuk mengangkat kakek yang sedang bersimpuh dihadapannya untuk kembali berdiri tegak. “saya tidak mempunyai dendam kepada bapak, kejadian 20 tahun lalu sudah saya lupakan, setiap manusia pasti akan menemui apa yang disebut dengan kematian, hanya saja kita tidak dapat menentukan waktu dan mediatornya, itu hanya sebuah kebetulan bahwa orang-tua saya mati ditangan bapak, anda saya anggap sebagai mediator dari Tuhan untuk mengambil mereka dari saya, saya sudah memaafkan anda, saya tidak menyesali kematian orang-tua saya, karena bagi saya hanya kematianlah yang merupakan kebenaran absolut dalam dunia ini” kata-kata pemuda ini membelalakkan mata kakek, sungguh sebuah reaksi yang tidak disangka oleh kakek, sebuah kasih yang begitu besar terpancar dari dalam diri pemuda ini. “apakah engkau tidak merasa dendam kepada saya?” Tanya kakek, “tidak, tidak sama sekali, saya sudah lama tidak mendendam kepada bapak, memang saya masih merasa marah tadi, namun itu semua hanyalah perasaan sesaat, ketika bapak memasuki halaman rumah ini, itu sudah merupakan hukuman bagi bapak dalam pemikiran saya, sungguh anda adalah orang yang besar, saya kagum kepada anda karena telah berani datang dan meminta ampun dihadapan saya” pemuda itu menjawab pertanyaan kakek dengan suara lantang dan damai. Kakek berlinangan air mata ketika mendengar hal ini, kemudian mereka mulai berpelukan dengan erat. “terima-kasih nak, terima-kasih, sekarang saya bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, sekarang saya bisa meneruskan pelarian saya dengan langkah yang pasti, sekarang saya sudah siap menemui Tuhan” kakek berkata dengan sebuah senyuman yang merekah. Kemudian kakek meminta diri dari pemuda tersebut, dan mulai berjalan meninggalkan rumah itu, namun sesampainya di halaman, kakek roboh dan jatuh mencium tanah. Tubuhnya lunglai tak berdaya ditanah, sambil mengangkat tangan dan tersenyum kakek membisikkan “terima-kasih Tuhan, terima-kasih, sekarang saya siap, ambillah saya dari kemunafikkan dunia ini” kemudian kakek menutup matanya dan tidak pernah membuka lagi. Sayup-sayup terdengar suara burung pada sore hari mengantarkan kepergian kakek, matahari mulai menampakkan kejenuhannya terhadap dunia seiring dengan perginya kakek. Sore itu terasa damai, sebuah kedamaian yang tidak wajar memancar dari tubuh seorang sadis yang telah menemukan penebusan dunia. Namun kedamaian itu menjadi sebuah hadiah yang diperoleh dengan senyuman ketika kakek dengan bersungguh-sungguh mencari akan apa yang dinamakan Tuhan dan pelarian.  

new to blogging

entahlah apa itu blogging, gue kurang ngerti, sepertinya cara menulis seperti ini sedang booming dikalangan para penulis atau blogger atau apalah istilahnya. maklumlah, gaptek tingkat tinggi, pokoknya gue nulis apa yang gue mau. itu kata temen gue si sketza "njrot lu nulis mendingan bikin blog aja, kayak gue, asik lagi blogging, jangan gaptek gaptek napa". sempet bingung juga sih, kriteria penulisan disini apa aja, apa harus konsen di masalah perpolitkan? hukum? gaya hidup? entertainment? gosip? manohara? apa presiden terpilih SBY? kalo misalnya gue pengen blog gue isinya variatif? bisa nggak? katanya sketza lagi nih "napa nggak? blogging gak punya aturan maen, apa yang mau lu tulis tulis aja".
baiklah, posting gue yg pertama ini cuman sebagai pembuka sekaligus historis mengenai betapa gapteknya diriku. cuman nih yang sayang terlalu sayang, gue gak bisa copy paste tulisan tulisan gue, masak gue harus ngetik ulang cerpen, puisi, kritik, analisis gue yang segitu panjangnya?
ah apapun itu gue pengen punya freedom of writting tanpa ada intervensi dari mana mana. sip, mantap, enak...