Rabu, 29 Juli 2009

Nista Manusia terhadap Tuhannya


 

Seorang anak kecil berkulit putih bersih berdiri meratapi seonggok daging manusia yang terbakar, hangus legam tanpa menampakkan identitas, namun hal itu tidak membuat si anak menjadi takut, tetapi ia terus menatap dengan mata yang tidak basah namun haru. Kemudian ia mulai beranjak pergi dari onggokan mayat yang tidak mempunyai arti itu lagi, ia menapaki sebuah jalan berdebu dan rusak, sebuah jalan yang dahulu merupakan sayatan nadi kehidupan bagi umat perkotaan, dimana segala interaksi sosial bertemu dan bercampur baru dalam keringat hedonisme, namun jalan itu kembali menampakkan wajahnya yang sesungguhnya, sebuah wajah yang tak berarti tanpa nama, sebuah tembang kenangan yang “pernah hebat” namun sekarang tidak membunyikan pekikan yang mengalunkan keharmonisan hiruk kota. Si anak berjalan menyusuri jalan yang dihiasi oleh puing-puing bekas bangunan yang sudah pernah menghiasi jalanan ini, sebuah imajinasi menggelayut didalam pikirannya, ia membayangkan betapa megahnya jalan ini kala manusia bersatu padu dalam sebuah ritme kehidupan metropolis yang serba cepat, dimana kehidupan berjalan selama 24 jam dengan gemerlapnya lampu-lampu kota yang mengisyaratkan hedonisme dan asimilasi manusia dengan tuhannya sendiri. Kini yang tersisa hanyalah bekas-bekas kehebatan manusia, puing-puing hasil pemikiran modern yang pernah menjamah sisi kehidupan manusia yang haus akan sebuah kesempurnaan. Semua itu telah hilang, ditelan murka keserakahan dan fanatisme manusia. Anak itu kemudian mengeluarkan sebuah buku sketsa yang biasa ia pakai untuk menorehkan segala sesuatu yang dilihatnya kedalam garisan-garisan dan alur-alur cantik hitam-putih, ia merogoh kantongnya untuk mengambil sebatang pensil pendek yang kelihatannya mulai haus karena frekuensi pemakaian, dalam buku polos tanpa garis itu ia menulis “Jakarta 1 juli 2010” kemudian ia mulai menghiasi lembaran itu dengan garisan-garisan halus yang pada  akhirnya menghasilkan sebuah sketsa indah yang penuh dengan sarkasme akan situasi nyata yang sedang stagnan didepan matanya.

            Selama dua jam Kevin (nama anak itu) duduk membisu di trotoar jalan kota yang sudah mati itu, ia duduk terdiam sambil memandangi hasil sketsa yang baru saja dirampungkannya, dalam pikiran kevin sketsa ini merupakan sketsa terbaiknya, karena sebuah situasi nyata yang tidak mengumbarkan keindahan namun sebuah gambaran perilaku manusia yang sedang membunuh Tuhan secara perlahan-lahan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Kemudian ia membalik lembaran dalam buku sketsanya dan melihat halaman sebelumnya, sebuah gambaran hidup yang melukiskan suasana mencekam dan ngeri “Jakarta 29 juni 2010” manusia berlarian pontang-panting, saling membakar, saling membunuh dan saling menyakiti, masyarakat kota sedang dirobek oleh sebuah kenyataan pahit, sebuah kenyataan kekerasan yang sedang diperjuangkan, entah apa yang sedang mereka perjuangkan, yang pasti semua ini bukanlah ilusi yang bisa terlihat dari film ataupun permainan-permainan sadis yang sedang bertebaran dan meracuni pikiran manusia. tubuh manusia dicabik-cabik oleh kebencian yang dahsyat sebegitu rupanya sehingga hati nurani manusia tertutup oleh insting untuk membunuh dan mengancurkan, wajah-wajah garang terlihat dalam gambaran ini, wajah haus darah yang sedang memuaskan nafsunya untuk menghancurkan seperti sebuah keinginan yang sudah tidak tertahankan lagi, sebuah Ngidam. Terlihat dalam gambar seorang ibu dengan golok dilehernya sedang menangisi anaknya yang sudah mendahului dirinya untuk bertemu dengan sang Pencipta, lukisan itu tidak berwarna namun torehan arang pensil mengisyaratkan bahwa kota itu sedang banjir darah, yang tumpah sebagai upacara kurban tanpa isyarat akan Tuhan. Kevin kemudian tersenyum ketika ia melihat gambar ini lagi, setelah mengernyitkan dahinya ia pun tertawa terbahak-bahak, tawanya itu berupa tawa sarkas terhadap kebodohan manusia yang mempunyai andil dalam peristiwa ini, dalam hati ia berpikir betapa dungu dan bodohnya orang-orang ini, mengapa sesuatu yang begitu megah dan indah harus mereka hancurkan demi memuaskan nafsu yang dituruti untuk sesuatu yang belum tentu benar pemahamannya, “sungguh-sungguh dangkal filosofis hidup manusia-manusia ini” dia berkata didalam hatinya. Memang situasi yang mengerikan ini terpicu oleh sesuatu yang belum jelas kebenarannya, manusia terpacu untuk mengejar sesuatu yang diterima mentah-mentah, kedangkalan manusia ini dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memuaskan ego mereka demi memenuhi suatu tujuan akhir yang gemilang namun kotor, sungguh hebat dan brilian cara mereka berpikir dan bertindak.

            Kevin, seorang anak berumur 13 tahun melihat semua ini dalam perspektifnya sendiri, pemikiran yang jauh melampaui filosofis manusia-manusia bodoh yang telah terangsang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak logis, bahwa semuanya itu adalah sesuatu yang harus dicapai oleh mereka demi mendapatkan hidup bahagia adalah pemikiran yang salah, sama sekali salah. Kevin kemudian melangkah pulang kerumahnya, ia telah bosan dan muak melihat semua ini, sesuatu dalam perutnya bergejolak menyuruhnya untuk segera meninggalkan tempat yang menyesakkan dada ini, ia malangkah dengan cepat setengah berlari, sambil menutup mulutnya ia melewati untaian mayat yang berjejer-jejer tanpa tuan dan pemilik, berserakkan seakan meneriakkan nama mereka agar segera dibersihkan, namun tidak terjadi sesuatu, Kevin adalah satu-satunya makhluk hidup yang bernapas dan bergerak ditempat itu, langkah Kevin mulai terlihat sebagai sebuah larian, ia berlari dengan terburu-buru meninggalkan semuanya itu, kini wajah Kevin menampakkan ekspresi ngeri dan takut, entah apa yang ada didalam pikiran anak ini, namun sengalan napasnya menampakkan sebuah kecemasan yang luar biasa, situasi mencekam dan sunyi ini dipecahkan oleh derap beberapa kaki yang menggemakan tebalnya sol sepatu, “ya Tuhan, bawa aku pergi dari sini, bawa aku pergi dari sini Tuhan, selamatkan aku dari orang-orang ini” Kevin berteriak dalam hatinya. Langkah-langkah tersebut mulai membunyikan ritme yang cepat dan marah, Kevin masih terus berlari melewati sebuah bangunan tua yang selamat dari amukan massa, sebuah suara didalam hatinya menggerakkan Kevin untuk segera masuk kedalam rumah tersebut dan bersembunyi. Kevin membelokkan badannya dan memasuki pintu dari rumah tersebut, didalam terlihat jelas suasana kuno dan sederhana. Namun gambaran rumah seperti ini memberikan sebuah ketenangan dalam hati Kevin, ia melihat sebuah lemari kuno didalam rumah tersebut, ia mulai membuka lemari itu dan masuk kedalamnya dan bersembunyi, Kevin jongkok melipat kakinya agar bisa tetap muat dalam lemari yang sekarang terasa kecil untuk ukuran tubuhnya. Ia jongkok dan menunggu akan datangnya aman bagi dirinya, sementara itu diluar, terlihat 3 orang laki-laki berusia 30an sedang memegang golok, terlihat kebingungan dan marah, mereka menyusuri jalan yang tadi telah dilewati Kevin, amarah dalam semburan napas mereka terdengar dengan jelas, perasaan dongkol dan penasaran menyelubungi kepala mereka, kehausan mereka akan darah terlihat jelas dari mata-mata gelap yang memancarkan kebencian, langkah mereka terhenti ketika mereka melihat rumah tua yang telah dimasuki oleh Kevin tadi, dua dari tiga orang itu memasuki rumah tersebut dengan kasar, sedangkan yang satunya tetap berdiri dan menunggu diluar untuk berjaga-jaga seandainya terlihat sebuah napas kehidupan. Kedua orang itu menggebrak pintu itu sehingga engselnya patah dan pintu kayu yang telah berumur sejarah itu luluh lantak dalam sekejap.

            Mereka mencari kedalam setiap sudut-sudut ruangan dengan seksama, diiringi kilatan lampu senter karena matahari telah menampakkan kejenuhannya terhadap dunia, mereka mengobrak-abrik tempat itu sehingga keindahannya tidak lagi terlihat, mata seorang dari para lelaki tersebut tertuju pada sebuah lemari tua yang kecil, ia melangkah dengan memicitkan matanya seakan-akan lemari tersebut tidak dapat dilihatnya dengan jelas, ia membisikkan sesuatu kepada rekannya dan menunjuk ke lemari yang berada didepannya itu, kemudian lelaki itu mulai meraih engsel pintu lemari dan memutarnya, lemari itu terkunci dan tidak mau membukakan pintunya, dengan perasaan emosi lelaki itu mulai menendang-nendang lemari agar bisa menghancurkan pintunya. Kevin jongkok terpaku, matanya kosong menatap ke pintu lemari yang sedang ditendang-tendang, tubuh mungilnya bergetar karena takut dan cemas, namun suara dalam hatinya berkata agar Kevin tenang, suara tersebut mempunyai sebuah getaran yang mempunyai suatu aura untuk membuat orang menaatinya, Kevin berangsur-angsur pulih dari ketegangannya, namun tendangan di pintu membuat hati Kevin kembali berlomba-lomba mengejar perasaaan tenang yang sudah berlari jauh menninggalkan tempatnya. BRAK!! Pintu lemari itu hancur berkeping-keping. Terlihat seorang anak kecil yang menanjak remaja duduk jongkok, ketakutan akan masa depannya, segala yang pernah terjadi tiba-tiba melintas begitu saja dihadapan Kevin, ”apa yang pernah terjadi dalam hidupku? Aku masih terlalu muda untuk mati, aku belum melihat dunia. Tuhan! Saya berseru kepadaMu, jika Engkau mau rengkuhlah aku dari tangan-tangan manusia biadab ini” Kevin berteriak dalam hatinya.

            Kedua tangan besar dan kotor menarik Kevin dari lemari tersebut. Ia diangkat layaknya seekor binatang yang dapat menjangkitinya dengan penyakit ganas. Kemudian lelaki tersebut berseru kepada temannya “lihat apa yang kutemukan! Seekor anak yang mencoba bersembunyi dari kita. Hai engkau bocah, apa kau pikir engkau sudah sangat hebat?” lelaki tersebut tertawa terbahak-bahak, sebuah ekspresi kepuasan muncul dari raut wajahnya yang sumringah seperti orang bodoh. Kemudian teman dari lelaki tersebut datang menghampiri dirinya, mereka berdua berdiri, melihat dengan pandangan nafsu kearah Kevin. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, namun ekspresi wajah mereka menunjukkan terror yang berlebihan.

            Nyali Kevin menciut, air matanya mengalir dalam sebuah alunan kesedihan bercampur takut yang luar biasa. Kevin kemudian dibawa oleh kedua orang itu keluar dari bangunan tersebut. mereka meghampiri teman mereka yang sedang berjaga didepan pintu “ wah wah wah, apa yang engkau temukan ini? Ternyata memang benar kita masih menyisakan satu orang lagi” ujar orang tersebut. mereka bertiga kemudian melangkah pergi dengan membawa Kevin. Setiap detak langkah yang berderap mengiringi jantung Kevin yang berdegup kencang mengikuti irama langkah mereka. Ia menutup mata selama perjalanan, ia terus berdoa dan berdoa, memohon agar Tuhan tidak mengambilnya dengan cara seperti ini, sungguh-sungguh Kevin tidak berani menatap masa depan yang sedang manantinya. Akhirnya Kevin tertunduk pasrah, tidak merasakan apa-apa, stagnan tidak berbuat apa-apa.

            Orang-orang telah berkumpul menanti kedatangan dari prajurit-prajurit yang menamakan diri mereka, Utusan Tuhan, semua yang hadir disitu bersorak-sorai kegirangan menyambut ketiga orang tersebut dan Kevin. Kemudian muncul seorang perempuan dengan badan tinggi semampai, wajahnya cantik dan keras, kulitnya putih bersih, sungguh perempuan ini adalah sosok seorang perempuan yang cantik. Orang-orang tunduk akan kehadirannya, mereka menyebutnya “Sang”, yang artinya ia yang diagungkan. Sang berjalan menuju kerumunan yang terdiam sunyi, tidak ada sehelai benangpun yang melilit ditubuh perempuan ini, ia telanjang, benar-benar telanjang. Ia mengangkat tangannya dan semua orang yang hadir disitu mulai membuka baju mereka, kecuali Kevin. Kini sebuah pemandangan polos sedang berada dihadapan Kevin, ia memicingkan matanya, merasa dirinya belum pantas untuk menyaksikan hal-hal seperti ini. Tiba-tiba seorang perempuan muda dari kerumunan tersebut datang menghampiri Kevin dan mulai menelanjangi dirinya juga. Kini Kevin berdiri, polos tanpa tedeng aling-aling. “kita hanyalah manusia kecil, kita harus polos ketika kita datang dihapan Tuhan” Sang berkata kepada kerumunan tersebut. “dan kini, kita kedatangan seorang tamu, ia adalah sisa dari apa yang kita sebut kurban. Saya sudah mendapat wahyu dari Tuhan, tidak boleh kita sisakan satupun dari manusia-manusia rendahan selain pengikut kita, kita harus membasmi mereka semuanya. Dan hari ini saudara-saudara wahyu yang telah diturunkan kepada saya, akhirnya akan terpenuhi juga” Sang berkata yang diikuti dengan gumaman senang dari orang-orang yang hadir disitu. “dan kita akan menag!” salah seorang dari kerumunan tersebut berujar dengan lantang, yang diikuti dengan tepuk tangan riuh.

            Sang berjalan menuju sebuah mimbar yang sudah disipkan seblumnya oleh para pengikutnya. Ia berdiri layaknya seorang Jendral yang sedang memimpin pasukannya. “tahukah saudara-saudara, bahwa hari ini perjuangan kita terhadap Tuhan akan segera berakhir dengan kemenangan, kita akan diberi hadiah yang besar akan kemenangan ini, kita akan segera berkumpul dengan Tuhan kita yang agung. Kita akan menzolimi semua orang yang tidak mau mengikuti Tuhan. Ia kemudian mulai menyerukan kata-kata dengan bahasa yang sulit dimengerti. Kerumunan orang-orang itu tertunduk seperti sedang berdoa. Terdengar raungan-raungan tangisan yang tersedu-sedu, upacara kurban untuk yang kuasa, bahwa segala sesuatu akan berubah menjadi sesuatu yang baik. Bahwa pemikiran manusia telah menciptakan sebuah Tuhan yang baru. Bahwa segala sesuatu yang ajaib didunia ini telah direspon oleh seorang filsuf yang dangkal, membuat suatu pemikiran yang salah menjadi benar. ketika mereka berpikir mereka sedang menyembah dan mengagungkan Tuhan, justru mereka perlahan-lahan menusukkan sebuah tombak kedalam lambung Tuhan.

            Kevin berkeringat melihat pemandangan ini, sebuah pemandangan yang menyilaukan hati nurani dari seorang anak yang begitu polos. Ia menangis, menangis akan Tuhannya yang sedang dirobek-robek dihadapannya. Ada sebuah suara yang didengar Kevin didalam hatinya, suara itu berujar kepada Kevin untuk tetap tegar dan tidak menangis, sebuah suara yang meyakinkan Kevin bahwa semua akan baik-baik saja. Kevin kemudian mengangkat tangan dan berteriak dihadapan kerumunan tersebut “HAI ENGKAU MANUSIA-MANUSIA BODOH!!!” semua orang terperanjat dan memandang marah kearah Kevin, namun ia tidak peduli, Kevin berdiri bergeming memandang jijik kepada semua orang yang hadir disitu. “apa yang sedang kalian lakukan? Apa yang ada didalam otak kalian? Kalian sedang dibodohi oleh seorang gila hormat yang mengatasnamakan Tuhan. Untuk semua obsesinya untuk mengendalikan manusia. tidakkah kalian bisa melihat apa yang kalian lakukan adalah salah?!” Kevin berkata setengah berteriak kepada oang-orang tersebut. “sungguh-sungguh ketika engkau berpikir engkau sedang berperang untuk Tuhanmu, sebenarnya engkau sedang membunuh Tuhan secara perlahan-lahan. Engkau dengan segala pemikiranmnu tentang sebuah agama yang agung dihadapannya hanyalah sebuah ilusi dan fatamorgana yang diilustrasikan oleh perempuan laknat tersebut. Kalian berpikir telah menemukan oase dipadang gurun ini, namun semuanya hanyalah palsu. Engkau sedang menyembah Tuhanmu yang palsu dan menghancurkan sesuatu yang agung” Kevin mencoba meyakinkan mereka.

            Orang-orang itu bergeming. Kekuatan dalam kata-kata Kevin tidak mampu untuk menyadarkan mereka dari keadaan trans yang dalam. Sebuah keadaan hipnotisme yang diinginkan oleh mereka sendiri. Mereka menjadi sangat marah kepada Kevin yang telah menghina Tuhan yang mereka ciptakan sendiri. Sang kemudian memerintahkan prajuritnya untuk segera mengeksekusi Kevin. Tubuh kecil Kevin menjadi lunglai tak berdaya ketika dua orang berbadan besar mengangkat Kevin dan mulai mengikat Kevin pada sebuah tiang yang diatur diatas tumpukan kayu. Kini Kevin terpaku seperti patung totem yang diukir oleh orang-orang Indian dalam upacara kurban. Air matanya terus mengalir melihat kebejatan kerumunan ini.

            Salah seorang dari kedua orang yang tadi mengangkat tubuh Kevin mengambil sebuah tombak berkilat yang sekiranya akan dicucukkan ketubuh kecil dari anak yang tidak berdosa ini. Kevin menutup matanya dan berdoa, “biarlah Tuhan, jika ini memang apa yang Engkau inginkan, maka terjadilah” Kevin berujar didalam hatinya. Kemudian lelaki tersebut menusukkan tombak itu ke dada kiri Kevin, ia berteriak kesakitan. Namun teriakan itu hanya berlangsung sebentar. Orang-orang terperanjat kaget melihat apa yang sedang terjadi dihadapan mereka. Kevin memicingkan matanya, melihat apa yang sedang terjadi, karena ia tidak merasakan apa-apa selain kaget. Tombak yang tadi dipakai untuk menusuk tubuhnya kini tergeletak ditanah, patah menjadi dua. Sang eksekutor tertunduk, tidak percaya akan apa yang sedang dilihatnya. Ia kemudian mengambil sebilah pedang yang disodorkan oleh Sang, karena eksekusi pertama tidak berhasil. Pedang itu kemudian ditebaskannya kearah leher Kevin. Namun besi tipis itu hanya bisa bergetar ketika menyentuh lehernya.

            Kevin merasa kuat, ia menegakkan kepalanya, tersenyum kepada mereka. Namun orang-orang itu masih tidak mau mempercayai apa yang mereka lihat. Sang eksekutor kemudian mengambil obor dan menyulut kayu-kayu kering yang berada dibawah Kevin. Api berkibar dengan murka, tubuhnya menghilang tidak terlihat. Hanya jilatan-jilatan api yang terlihat sedang mengasah dan memanggang apapun yang berada diatasnya. Kerumunan itu kembali beruara dengan riuh, senang karena merasa kali ini tidak meungkin Kevin akan selamat. Tiga puluh menit keadaan mengerikan ini berlangsung. Ketika api yang mebakar kayu-kayu itu mulai padam, terperanjatlah kerumunan tersebut, karena tubuh anak kecil yang sedang dipanggang itu masih berdiri dengan bersihnya. Namun kali ini tubuh Kevin tidak lagi terikat pada tiang kayu, karena tiang kayu tersebut sudah habis terbakar. “Lihat apa yang sedang terjadi? Sadarkah kalian bahwa Tuhan berada dibelakangku dan melawan kalian semua?” Kevin berteriak kepada mereka. Kemudian terdengar suara gemuruh dan langit berubah menjadi gelap. Kevin kemudian melangkah, mengambil bajunya dan memakainya kembali. Ia kemudian berjalan pergi meninggalkan manusia-manusia dungu tersebut.

            Jakarta 2 juli 2010” Kevin menorehkan tulisan itu didalam buku sketsanya ketika ia kembali ketempat terkutuk itu pada keesokan harinya. Kemudian ia mulai menorehkan arang pensilnya kembali untuk menggambarkan apa yang sedang stagnan dihadapannya. “orang-orang berdiri telanjang dengan ekspresi menganga. Ketakutan akan apa yang sedang menimpa mereka. Asap dimana-mana, manusia-manusia tersebut terbakar namun tidak hangus. Tubuh mereka utuh didalam posisi yang sempurna. Namun nyawa mereka tidak berada ditempatnya lagi. Seorang wanita cantik berdiri mengangkat tangannya, ia kaku bagai sebuah patugn yang diukir oleh seorang seniman. Terdapat puluhan ular merayap ditubunya.” Setelah selesai membuat sketsa tersebut Kevin tersenyum. Senyumannya kini bukan lagi berupa sebuah senyum sarkas, namun sebuah senyum gembira terukir dimulut Kevin. “Manusia selalu mencari cara untuk membunuh Tuhannya sendiri. Membuat pemikiran-pemikiran dangkal terhadap apa yang mereka percayai. Membuat segala sesuatu yang indah menjadi tidak berarti lagi. Kapankah manusia bisa belajar untuk lebih mencintai dan mengormati apa yang sudah diciptakan? Kenapa mereka harus membuat segala sesuatu yang begitu gampang menjadi sulit dimengerti? Tuhan sudah memberikan segala jalan kepada manusia untuk berbuat apa yang diinginkanNya.” Kevin berkata kepada dirinya sendiri. “pekerjaan saya disini sudah selesai, saya sudah mencoba untuk memperingatkan mereka akan kemurkaanMu ya Tuhan. Kemudian ia menutup buku sketsanya. Menggeletakkannya ditanah dan mulai malangkah pergi. Dari kejauhan terlihat sayap kecil putih muncul dari punggung Kevin. Bajunya sobek dan ia tidak mengenakan sesuatu apapun. Sayap tersebut kemudian mengembang membesar. Sebuah cahaya menyinarinya dan ia terangkat naik keatas awan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar