Seorang kakek tua berparas legam dan berpenampilan buruk, berlari tersengal-sengal, nafasnya membiru dalam kedinginan malam, kakinya menjejakkan tanah yang berlumpur mengakibatkan terciptanya blontengan-blontengan noda pada celananya yang sudah keliatan berumur. “aku harus terus berlari, berlari tanpa tujuan, apakah ini tujuan akhir hidupku? Dengan semua kemenangan yang telah kuperoleh pada masa laluku? Apakah aku harus berhenti sampai disini saja?.... aku harus tetap berlari, berlari dan berlari sampai Tuhan mengambil kaki dari tubuhku hingga aku tidak sanggup berlari” dia berlari melewati gedung gedung tua dijalanan sempit. Gedung-gedung itu seakan tersenyum kepada kakek dan berkata “teruslah berlari teman, teruskan perjuanganmu, jangan berhenti, lihat apa yang terjadi pada kami generasi tua yang tidak pernah mau berlari, lihatlah dan camkan ini dalam otakmu teman. ENGKAU AKAN DIGANTIKAN, maka itu berlarilah teman dan tinggalkanlah kemunafikan dunia.” “apa yang terjadi pada kalian teman-temanku yang tua?” kakek bertanya kepada gedung-gedung tua tersebut. Kakek terhenti untuk sementara ketika pertanyaan ini hinggap di pikirannya. “bisa engkau lihat teman, kami sudah tua dimakan usia, kami sebenarnya masih sanggup menapakkan kaki di jalan ini, kami masih sanggup menahan alam dan rintihan hujan, namun manusia selalu sentimen terhadap setiap generasi tua, lihatlah gedung-gedung yang baru dibangun di depan sana, setiap hari mereka melihat kami dengan tatapan sinis mencemooh, seakan-akan kami ini hanyalah sampah yang tidak tahu diri, seakan-akan berkata sudah waktunya kami ini disingkirkan dengan bangunan yang lebih muda dan baru. Namun dengarkanlah wahai teman, kami lebih kuat daripada semua bangunan baru yang dibangun dengan cara berpikir modern manusia, kami lebih kokoh dalam menahan godaan alam dari Tuhan. Dinding kami lebih tebal, kami dapat memberikan kesejukan pada siang hari dan kehangatan pada malam hari teman, dengarlah hai teman, setiap hari saya melihat manusia-manusia sombong berpakaian putih dan berdasi mengamati kami, melihat kami dengan tatapan puas dan rakus. Mereka akan menggantikan kami dalam waktu dekat, mereka tidak tahu betapa pentingnya kami dimasa lalu, mereka tidak tahu betapa kami menyimpan sejarah kelam bangsa ini, mereka tidak tahu betapa pentingnya sejarah dalam arti keberadaban hidup manusia, mereka menganggap kami barang kadaluwarsa. Ini omong kosong, aku tidak akan tinggal diam, aku akan bertindak, aku akan melawan, aku akan menunjukkan bagaimanakah cara perjuangan pada dahulu kala itu dilakukan terhadap penjajah. Aku akan melawan, sampai batu terakhir dari fondasiku ini tercabut sampai ke akarnya!!! Gedung itu seakan menjawab pertanyaan yang tadi dipikirkan oleh kakek. Kemudian ia mengamati gedung tersebut dengan seksama, gedung itu sudah keliatan berumur lebih dari 150 tahun, bentuk bangunannya yang imperialis semakin megentalkan umurnya dalam balutan granit. “ck ck ck rumah yang besar dan kokoh, sayang sekali kalau dirobohkan” pikir kakek itu. Kemudian kakek itu mulai berlari lagi, dari kejauhan terdengar suara sayup sayup “selamat inggal teman, kuiringi perjalananmu dengan perjuanganku disini teman, berjuanglah”. Kakek kemudian berlari lagi, nafasnya tersengal mengalunkan sebuah melodi klasik yang sudah sangat lama tidak didendangkan oleh generasi tua. Cahaya kehidupan yang sudah sangat lama tidak terpancar dari dalam dirinya mulai kembali memancarkan kehangatan yang menjalar keseluruh tubuhnya, namun kemudian meredup lagi seiring dengan pelarian dari kakek itu. Dia melewati anak-anak kampung yang bermain dan berlari-lari dalam suasana
Kegelapan malam mulai menampakkan kejenuhannya terhadap bumi, langit pun mulai berubah pucat secara perlahan menggantikan pekat. Kakek masih berlari tersengal-sengal, mengantarkan kedatangan matahari yang mulai menyongsong seakan berkata selamat pagi. “ini bukan selamat pagi bagiku, ini bukan sebuah keselamatan sama sekali buatku, ini bencana, sebuah bencana yang datang secara pasti di akhir hidupku yang tengah berlangsung. Kemudian kakek melewati sebuah taman kosong, dia mulai teringat dengan taman ini, ini adalah taman yang menjadi tempatnya bermain dikala dia masih kecil. “kenapa taman ini berubah menjadi sebuah tempat yang mengerikan seperti ini? Apakah ini benar taman yang dulu itu?” sebuah kesangsian muncul dalam benaknya, keindahan taman yang dulu memancarakan keceriaan bagi anak-anak, kini menjadi sebuah tempat yang menjadi symbol kengerian
Kakek masih berlari dan terus berlari ketika kenangan itu hilang dari pikirannya, sebuah pelarian yang kelihatan sia-sia, namun pelarian ini bagi kakek adalah sebuah pelarian penebusan dosa yang harus dilakukan oleh kakek, sebuah pelarian yang harus dilaksanakan agar mencapai sebuah kesempurnaan hidup. Kakek melewati sebuah sekolah dasar, ia dapat melihat bahwa sekolah itu adalah bangunan yang mengumandangkan sebuah nilai prestise pada dinding-dinding sekolahnya, bangunan megah yang memancarkan kesombongan manusia akan harta yang dimiliki oleh mereka, sebuah bangunan yang didirikan atas dasar simbol keduniaan. “sungguh sebuah bangunan yang megah, apalah artinya bangunan yang megah dibandingkan dengan ilmu yang harusnya bisa diserap. Apakah ilmu itu harus dibagikan dengan sebuah gemerlapnya bangunan? Apakah tidak cukup anak manusia belajar didalam sebuah bangunan asri yang sederhana namun sejuk? Sungguh-sungguh megah dan konyol” kemudian kakek melanjutkan pelariannya, melewati mobil-mobil mewah dan berkilauan, melewati anak-anak bersih yang berjalan menuju istana pendidikan. Hari itu sinar matahari menikam bumi tanpa ampun, teriknya mentari menjadi sebuah kehampaan dalam pelarian kakek, kakinya mulai aus dimakan kelelahan, kakek duduk sebentar di pinggiran jalan sambil merebahkan badannya, kini kakek yang dulunya seorang manusia yang diselimuti aura kewibawaan brutal berubah pemandangannya tak ayal seperti seorang pengemis tua yang tak berdaya dimakan usia dan kemiskinan. Dia kemudian berjalan menuju sebuah kios rokok yang menjual minuman dan makanan ringan, kakek membeli sebotol minuman dingin dan sepotong roti untuk menghilangkan dahaga dan lapar, setelah beristirahat selama 15 menit, kakek mulai melanjutkan perjalanannya kembali menuju penebusan dosa, perjalanan itu panjang dan panas, lelah dan terik membuat kakek tidak sanggup lagi untuk meneriakkan semangat, namun kakek terus berlari, berlari dan berlari. Sebuah bangunan besar dan kumuh dilewatinya, dia berhenti sebentar menatap bangunan yang seolah memanggilnya kembali untuk melihat masa lalunya, dia berhenti sejenak untuk membersihkan pikirannya, kemudian memori itu kembali menghujam pembuluh otaknya, sebuah kenangan suram masa lalu, sebuah bangunan yang telah memagarinya dari kehidupan dunia, sebuah kamar berukuran 3x4 m yang telah mengurungnya dalam kesunyian dan kedamaian semu, sebuah tempat dimana kakek telah menemukan Tuhan.
Kakek dapat mencium aroma kopi panas yang pagi itu 20 tahun lalu ditenggaknya tanpa sebuah kompensasi pendinginan, aroma kopi yang membuat kakek teringat hari dimana kakek dimasukkan kedalam penjara. Dimana kakek telah melakukan sebuah pembunuhan besar, sebuah pembantaian, sebuah khaos dalam kehidupan fana, sebuah kehendak untuk berkuasa seperti sebuah faham yang dianut oleh kakek dalam penzikirannya terhadap pemikiran nitzsche. Kakek telah membantai sebuah keluarga dalam sebuah kegelapan malam. Dan hari ini kakek akan membayar semua itu dalam ganjaran penjara. Didalam penjara, kakek menemukan sebuah kedamaian terlepas dari semua gempita dunia, dalam penjara kakek menemukan sesuatu yang bernama penebusan, dalam penjara itu pula kakek menemukan Tuhan, sebuah pemikiran yang selama ini dihindari oleh kakek, sebuah kepercayaan yang menurut kakek hanya takhayul, namun kakek tidak menemukan Tuhan dalam agama, bagi kakek, agama itu hanyalah sebuah esensi yang semu, tidak bermakna, agama hanyalah sebuah mediator penghubung antara manusia dan Tuhan, agama adalah hampa tanpa sebuah kesungguhan kepercayaan. Kakek menemukan Tuhan dalam kesendiriannya, kakek mendengar Tuhan berbicara dalam mimpi-mimpinya, kakek menemukan Tuhan dalam pertobatannya, kakek hanyalah seorang pengelana yang telah menemukan Tuhan dalam kesunyian hati. Tuhan adalah sebuah suara yang menyerukan kebahagiaan abadi setelah kematian, Tuhan adalah seorang hakim agung yang akan menimbang segala perbuatan manusia didunia. Tuhan adalah Tuhan, Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat dianalogiskan dalam bahasa manusia. TUHAN. Kakek melewati hari-harinya didalam penjara dengan melakukan meditasi pikiran, ia membaca buku-buku tentang Tuhan, namun tidak satupun buku-buku tersebut yang menyiratkan akan agama, buku-buku itu hanya menyemburkan sebuah esensi moral, yaitu Tuhan, sebuah kekuasaan Ilahi tanapa embel-embel titel, sebuah kekuasaan agung tanpa pengangkatan resmi. Tuhan, sebuah pemikiran yang tidak realistis namun menakutkan, setelah sekian lama hidup tanpa Tuhan, akhirnya kakek menemukan sebuah kedamaian, sebuah cinta dalam Tuhan. Didalam suatu keheningan malam, ketika dingin menginjakkan kakinya dalam ruangan sel yang sempit dan apek, kakek sedang tidur dalam kesunyian, ada sebuah pengumandangan suara, sebuah suara yang berat dan berwibawa mengiang di telinga kakek “dengarlah hai engkau anak manusia, apakah engkau berharap bahwa engkau akan hidup abadi sebagai orang yang ditakuti oleh manusia? Apakah engkau berharap bahwa suatu saat tidak akan ada orang yang menuntut pembalasanmu? Engkau hanyalah seekor kecoak kecil yang dapat kuremukkan dengan satu jariku, sekarang katakan padaku, apa yang engkau harapkan dari kehidupanmu didunia ini?” suara itu berhanti dengan seketika, “ siapa engkau?” kakek bertanya, untuk pertama kali, dalam hidup kakek dia merasa takut akan sesuatu, suara itu mempunyai sebuah nada yang mengancam, suara itu mempunyai sebuah visualisasi terhadap sesuatu yang agung dan mega, suara itu dalam pikiran kakek adalah suara Tuhan, yang tidak pernah dikenalnya. “saya adalah awal, saya adalah akhir, saya adalah saya” sahut suara itu, kemudian suara itupun menghilang dalam keremangan malam. Kakek melewati malam itu dengan berpikir tentang artinya Tuhan, siapa Tuhan? Bagaimana Tuhan? Apa esensi dari Tuhan? Namun sepanjang malam dia tidak dapat menemukan jawabannya, pikirannya dibuat terlena dalam belaian bantal bau yang berlinang dengan kotoran. Kemudian kakek bangun pada pagi hari dengan sebuah pemikiran baru, “Tuhan adalah Tuhan, Tuhan adalah sebuah pemikiran yang diciptakan manusia akan hidup yang lebih baik, Tuhan adalah pengampunan, Tuhan adalah penebusan. Mulai saat itu, kakek mulai membuat rencana tentang penebusan dosanya, ia pun membuat rencana untuk melakukan sebuah pelarian terhadap dosa, sebuah pelarian untuk menghilangkan dosa.
Kemudian bayangan itu lenyap dari pikirannya, setelah ia melewati gedung penjara tersebut, kakek mulai berlari lagi, kenangan tentang penjara membuat kakek mendapat angin segar dalam tipisnya oksigen yang dihirupnya, membuat kakek kembali bersemangat dan kehilangan rasa capek, pelariannya kini berubah menjasi sebuah obsesi akan hidup sempurna, yang disebut kakek sebagai kehendak untuk berkuasa. Pelarian kakek menjadi sebuah sendi pilu dalam kedamaian hati, sebuah ungkapan kerinduan akan Tuhan dan kedamaian, kemudian kakek melewati sebuah jalan, jalan ini bagi kakek tidak tampak asing “saya tahu jalan ini, saya sepertinya ingat akan jalan ini” pikir kakek. Sebuah memori kembali menampakkan bayangan semu, sebuah visualisasi terhadap apa yang terjadi pada masa lalu. Kesedihan dan ketakutan menyelimuti wajah kakek pada saat ini, bayangan yang selama ini sudah diusahakan untuk dihilangkan dari pikirannya kembali bergelanyut dalam kepala kakek. Pagi itu, tidak seperti pagi-pagi yang lain, aura kegelapan menyelimuti tubuh kakek di pagi hari yang cerah, tidak tampak sebuah cahaya keceriaan dalam senyumannya yang sinis, dingin dan kaku. Sinar kesadisan dipancarkan dari matanya yang cowong dan hitam, sudah tiga hari kakek menelan hal ini seperti sebuah pil pahit yang dihancurkan dan dimasukkan dengan paksa ke dalam mulutnya, sebuah bayangan dendam muncul terus menerus dalam pikiran kakek, sebuah bayangan ketika ia diludahi oleh seorang pria didepan umum secara beruntun merasuki pikirannya, ludahnya itu terasa panas dimuka kakek, hasutan dari pikiran tidak sanggup dihalangi olehnya lagi, ia berjalan dengan tubuh yang merah membara, bumi terbakar oleh pijakan kaki kakek, sampailah ia didepan rumah lelaki itu, sebuah sayatan panjang menguntai pada leher lelaki tersebut, dengan disaksikan oleh istri dari lelaki tersebut, kakek dengan darah dinginnya mengiris dan melukai, tidak sampai disitu saja, sang istri pun ikut menjadi petanggungan jawab dari perbuatan suaminya. Sebuah pemandangan mengerikan yang dipertontonkan menjadi sebuah film horror yang akan terus bercokol dalam pemikiran masyarakat sekitar ketika mereka melihat rumah yang dibanjiri oleh darah, namun kakek tidak membunuh anak dari pasangan tersebut, anak itu dibiarkan hidup dalam kengerian, dibiarkan hidup dalam sebuah harmonisnya murka dan dendam. Ia melihat kakek dengan pandangan benci dan takut, menatapnya kedalam bola mata sampai menusuk kedalam hati yang paling dalam. Kakek pun melenggang pergi dari rumah tersebut dengan gontaian kepuasan akan sebuah ide balas dendam yang sempurna, sebuah kehendak untuk berkuasa. Kakek menitikkan air mata ketika pelarian kakek sampai pada rumah ini 20 tahun kemudian. Bayangan ini membuat kakek takut menghadapi masa depan, namun kakek memberanikan diri “aku harus bisa, inilah ganjaran yang harus aku terima ketika aku melakukan hal tersebut” kakek berkata kepada dirinya sendiri. Langkah kakek gemetar dan pelan, derapannya terasa berat ketika kakek memasuki halaman dari rumah tersebut. Kakek menatap dengan takut kedalam rumah tersebut, kemudian tangannya dengan berat hati menekan tombol bel rumah. Suara dari bel itu terasa panjang dan menakutkan, kemudian terlihat seorang pemuda tinggi keluar dari rumah tersebut, pemuda itu mempunyai karakter keras, namun dari pancaran matanya terdapat sebuah kelembutan yang tidak dapat dinalar. Kakek langsung mengenalinya dari tatapan anak tersebut, tatapan yang sama yang dilihat oleh kakek 20 tahun yang lalu. “ada yang bisa saya Bantu pak?” pemuda itu bertanya kepada kakek, kakek tidak langsung menjawab, namun hanya terdiam dan menunduk dengan rasa bersalah yang tidak dapat dinanya. “bapak tidak apa-apa?” pemuda itu kembali bertanya kepada kakek, seketika itu kakek jatuh dengan kedua lututnya menghantam tanah dengan keras, tangannya bergetar menghaturkan sebuah sembah dihadapan pemuda itu. Pemuda tersebut terheran-heran melihat hal ini, namun bayangan kejadian 20 tahun yang lalu langsung menerkam hati nuraninya, dia teringat akan muka sadis yang menggontai dengan santai pada 20 tahun yang lalu. “apakah bapak adalah orang yang telah membunuh kedua orang-tua saya?” pemuda itu bertanya kepada kakek, kakek hanya mengangguk tanpa mengeluarkan satu katapun, pancaran kemarahan dan kekecewaan kembali muncul dari dalam mata pemuda tersebut, namun pancaran tersebut meredup dengan perlahan, pancaran itu berganti dengan sebuah senyum ramah yang menyambut tangan dari pemuda itu untuk mengangkat kakek yang sedang bersimpuh dihadapannya untuk kembali berdiri tegak. “saya tidak mempunyai dendam kepada bapak, kejadian 20 tahun lalu sudah saya lupakan, setiap manusia pasti akan menemui apa yang disebut dengan kematian, hanya saja kita tidak dapat menentukan waktu dan mediatornya, itu hanya sebuah kebetulan bahwa orang-tua saya mati ditangan bapak, anda saya anggap sebagai mediator dari Tuhan untuk mengambil mereka dari saya, saya sudah memaafkan anda, saya tidak menyesali kematian orang-tua saya, karena bagi saya hanya kematianlah yang merupakan kebenaran absolut dalam dunia ini” kata-kata pemuda ini membelalakkan mata kakek, sungguh sebuah reaksi yang tidak disangka oleh kakek, sebuah kasih yang begitu besar terpancar dari dalam diri pemuda ini. “apakah engkau tidak merasa dendam kepada saya?” Tanya kakek, “tidak, tidak sama sekali, saya sudah lama tidak mendendam kepada bapak, memang saya masih merasa marah tadi, namun itu semua hanyalah perasaan sesaat, ketika bapak memasuki halaman rumah ini, itu sudah merupakan hukuman bagi bapak dalam pemikiran saya, sungguh anda adalah orang yang besar, saya kagum kepada anda karena telah berani datang dan meminta ampun dihadapan saya” pemuda itu menjawab pertanyaan kakek dengan suara lantang dan damai. Kakek berlinangan air mata ketika mendengar hal ini, kemudian mereka mulai berpelukan dengan erat. “terima-kasih nak, terima-kasih, sekarang saya bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, sekarang saya bisa meneruskan pelarian saya dengan langkah yang pasti, sekarang saya sudah siap menemui Tuhan” kakek berkata dengan sebuah senyuman yang merekah. Kemudian kakek meminta diri dari pemuda tersebut, dan mulai berjalan meninggalkan rumah itu, namun sesampainya di halaman, kakek roboh dan jatuh mencium tanah. Tubuhnya lunglai tak berdaya ditanah, sambil mengangkat tangan dan tersenyum kakek membisikkan “terima-kasih Tuhan, terima-kasih, sekarang saya siap, ambillah saya dari kemunafikkan dunia ini” kemudian kakek menutup matanya dan tidak pernah membuka lagi. Sayup-sayup terdengar suara burung pada sore hari mengantarkan kepergian kakek, matahari mulai menampakkan kejenuhannya terhadap dunia seiring dengan perginya kakek. Sore itu terasa damai, sebuah kedamaian yang tidak wajar memancar dari tubuh seorang sadis yang telah menemukan penebusan dunia. Namun kedamaian itu menjadi sebuah hadiah yang diperoleh dengan senyuman ketika kakek dengan bersungguh-sungguh mencari akan apa yang dinamakan Tuhan dan pelarian.
Ini mgkn kepanjangan kali, makany engga muat, beb.
BalasHapusmaksud loh?
BalasHapusapanya yang nggak muat? itu udah semua kok ternyata. hehehe. komen dari seorang penulis?